• HOME
  • CATATAN PERJALANAN
  • ULASAN BUKU
  • CERITA IBU
  • DIY/HANDYCRAFT

Blogger Rumahan

Menulis; berbagi ide dan cerita dari rumah

1
kita saling mengintip di daring itu
saling mengoreksi, mengenang kembali, 
tertawa sendiri, agak menyesali, 
namun membanggai.
kita saling menatap dalam diam
tidak sanggup mengkhianati, 
tetap menjaga, menahan hasrat,
dan yakin pada pilihan kini.
kita saling membangun benteng 
dengan fondasi kepercayaan
tidak sanggup berpaling, 
tetap menanti nanar,
berasa ada namun tiada,
dan terserang amnesia dini.
mencoba mengingat lagi.

2
aku menahan segala derita pengasingan bukan berarti awal segala kekalahan. sebab kebahagiaan yang aku minta telah menanti di puncak paling purna. puncak di mana segala sendi kerinduan bercumbu dalam sau tirakat perjamuan. perjamuan singkat di gigir senja yang pucat.



Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar

BismIllah..

Pada saat seorang anak meminta uang kepada orang tua, hal apa yang pertama kali orang tua itu akan lakukan? Jawabannya adalah bertanya. Ya, "Uang untuk apa, nak?" Begitu kira-kira pertanyaannya.

Begitupun dengan pinta-pinta kita pada Allah. Pada waktu do'a itu dipanjatkan, minta jodoh suami yang shaleh misalnya, seketika, Ia Sang pengabul segala pinta bertanya -- suami yang shaleh itu untuk apa? Namun, kita seakan tak pernah sadar bahwa kita tengah ditanya akan permintaan kita tersebut.

Melalui pertanyaan itu, Allah maha tahu kapan Ia mengabulkan doa. Seperti doanya bapak para Nabi, Ibrahim a.s. Dalam sepenggal doa ia bermunajat pada Allah, meminta agar diberikannya seorang keturunan dari bangsanya sendiri seorang nabi yang bisa menyelamatkan kaumnya. Rentang ribuan tahun jaraknya, doa itu baru Allah kabulkan, lahirlah seorang Rasul penutup para nabi, Rasulullah salallahu alaihi wasallam sebagai pemberi syafaat kaumnya kelak di akhirat, insya Allah.

Patutnya kita jangan pernah lelah memanjatkan doa dan berusaha. Pastikan kita menjadi jiwa yang pantas untuk sesuatu yang pantas pula, di mata Allah tentunya.

Ada yang pernah berujar seperti ini, "Kamu akan mendapatkan sesuatu yang benar-benar kamu harapkan dan sesuatu yang benar-benar kamu butuhkan," 

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan (doa) bagimu.” (QS. Al-Mukmin/Ghaafir: 60). 

wallahualam.

*Re-post oleh-oleh dari Ust.Salim A Fillah, Ahad 2 Maret 2014*
ditulis pagi tanggal 4 Maret 2014
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Bismillah..

Entah, akhir-akhir ini saya sering merasa takut kehilangan. Padahal, pada hakikatnya saya hanya manusia, yang tak pernah benar-benar memiliki. Semua hanya titipan, saya sadar akan hal itu.

Mungkin, jika pun bisa memilih, saya ingin dititipi lebih lama. Meski seringnya tak luput dari lupa, lupa untuk menjaga apa yang telah dititipkan. Hingga sadar semuanya begitu berharga, saat segalanya telah hilang, diambil oleh yang Menitipkan. 

"Apa karena saya terlanjur 'jatuh' kepada 'hal' yang tak semestinya?"

Doushite kimi ga naku no mada boku mo naite inai noni
Mengapa kau menangis? Padahal aku masih belum menangis
Jibun yori kanashi mukara tsurai no ga dotchi ka wakaranaku naru yo
Betapa menyedihkannya aku, aku bahkan tak tahu apa yang salah dengan diriku
Garakuta datta hazu no kyou ga futari nara takara mono ni naru
Hari ini akan menjadi harta karun berharga bagi kita berdua

Soba ni itai yo kimi no tameni dekiru koto ga boku ni aru kana
Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk dekat denganmu?
Itsumo kimi ni zutto kimi ni waratte ite hoshikute
Kau dan aku selalu tertawa, itulah yang selalu ingin kulihat
Himawari no youna massuguna sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kau yang lembut seperti bunga matahari dengan semua kehangatannya
Kore kara wa boku mo todokete yukitai koko ni aru shiawase ni kidzuita kara
Aku ingin memberitahu masa depan, Karena disini aku sudah bahagia

Touku de tomoru mirai moshi mo bokura ga hanarete mo
Kita bahkan sering pergi menyapa masa depan dari kejauhan
Sore zore aruite yuku sono saki de mata deaeru to shinjite
Aku percaya masa depanmu akan lebih baik jika seperti ini
Chiguhagu datta hazu no hohaba hitotsu no youni ima kasanaru
Aku selalu mengharapkanmu sebagai salah satu langkah yang ku tempuh

Soba ni iru koto nanigenai kono shunkan mo wasure wa shinai yo
Jangan pernah lupakan saat-saat kau berada disini, disampingku
Tabidachi no hi te wo furutoki egao de irareru youni
Kau tetap tersenyum saat berjabat tangan sebelum kita berpisah
Himawari no youna massuguna sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kau yang lembut seperti bunga matahari dengan semua kehangatannya
Kaeshitai keredo kimi no koto dakara mou juubun da yo tte kitto yuu kana
Bila kau ingin kembali, dapatkah kau mengatakannya dengan cukup yakin?

Soba ni itai yo kimi no tameni dekiru koto ga boku ni aru kana
Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk dekat denganmu?
Itsumo kimi ni zutto kimi ni waratte ite hoshikute
Kau dan aku selalu tertawa, itulah yang selalu ingin kulihat
Himawari no youna massuguna sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kau yang lembut seperti bunga matahari dengan semua kehangatannya
Kore kara wa boku mo todokete yukitai hontou no shiawase no imi wo mitsuke takara
Mulai sekarang, aku akan memberitahu masa depan, Karena aku sudah menemukan arti kebahagiaan yang sesungguhnya



(Himawari No Yakusoku, OST Stand by Me - Doraemon)
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Di Karawang emang ada pantai? Pertanyaan itu terlontar dari beberapa teman ketika saya cerita tentang tempat-tempat wisata apa saja yang bisa dikunjungi di kota Pangkal Perjuangan ini. Walaupun, saya yang seumur-umur tinggal di Karawang, baru kesampean berkunjung ke salah satu pantainya pada bulan April tahun ini. Hahaha... maklum, sebelumnya tempat jalan-jalan saya hanya sekitaran mall dan tempat shoping lainnya XD

Nah, kalau sekarang masih ada yang nanya emang di Karawang ada pantai? Maka saya akan nyuruh orang yang nanya itu buat buka peta (galak amatan :P). Setelah buka peta, baru sadar kan kalau Karawang adalah salah satu daerah di Jawa Barat yang berada di Pantai Utara, yang akrab kita sebut dengan julukan Pantura. Bagian utara Kabupaten Karawang berbatasan langsung dengan Laut Jawa, yang jika kamu berenang sekitar empat puluh derajat dari bibir pantai ke arah laut sejauh 50.000.000 km, maka kamu akan sampai di salah satu pantai di pulau Kalimantan XD (iya sih kalau kuat aja gitu berenangnya -.-).

Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang salah satu pantai di Karawang, yang beberapa tahun terakhir sudah mulai dikelola sebagai tempat wisata. Nama pantainya yaitu Samudera Baru. Samudera Baru ya, bukan Samudera Biru. Awas salah sebut. Rugi aja gitu kalau kata ‘Baru’ keceletot jadi ‘Biru’, karena kenyataannya pantai ini, air lautnya dari kejauhanpun gak ada warna biri-birunya, hehe.. tapi berwarna kecoklatan gitu. Hal tersebut dikarenakan karakter pasir pantai-pantai di daerah Pantura yang berwarna cokelat, bukan pasir putih seperti kebanyakan pasir pantai di daerah-daerah lainnya. Namun menurut saya, itulah khasnya Pantai Utara.

Pantai Samudera Baru berada di daerah Sungai Buntu, Kecamatan Pedes. Dengan menggunakan sepeda motor, saya dan dua orang teman menyusuri jalan utama Karawang Kota – Rengas Dengklok – Pedes. Sepanjang perjalanan menuju pantai, pemandangan didominasi dengan sawah-sawah yang membentang luas sejauh mata memandang, yang dalam bahasa setempat jalan seperti itu disebut dengan istilah totoang.

Sebagai jalur menuju tempat wisata, jalan menuju ke Pantai Samudera Baru bisa dibilang masih kurang layak, mengingat masih banyak lubang-lubang jalan yang membuat pengendara harus lebih hati-hati dan melambatkan kemudi kendaraan.

Setelah menempuh waktu kurang lebih satu jam perjalanan karawang Kota – Pedes, saya dan kedua teman akhirnya sampai di Pantai Samudera Baru. Untuk masuk ke dalam pantai, kami dikenakan tarif 15 ribu rupiah perorang. Itu sudah termasuk parkir gratis dan bebas mau parkir di mana saja, mau di pinggir, di bibir pantai, atau mau diparkir di lautnya juga mungkin diperbolehkan asal mau aja XD
Disambut oleh gurita besar

Kami memutuskan parkir di depan salah satu rumah makan di pinggir pantai. Tak lama seorang ibu penjaga warung menawarkan menu makanan dari warungnya. Dengan sopan kami menolak, karena kami memang berniat untuk main-main di pantai terlebih dahulu. Tak disangka, kami diusir oleh ibu tersebut. Buahahahahaha... asli saya nyengir aja pas si ibu itu bilang, kalau gak makan jangan parkir di sini! Padahal, tempat kami parkir tidak masuk ke wilayah rumah makan ibu tersebut loh. Tapi yasudahlah. Akhirnya kami memindahkan motor ke tempat yang lebih aman dan jauh dari warung-warung. Takut diusir lagi :P

Di situ saya kecewa, tempat wisata kok tidak difasilitasi dengan parkir khusus pengunjung. Selain membuat pengunjung kebingungan, juga membuat pantai terlihat berantakan karena banyak yang parkir sembarangan.

Setelah puas main air, kami membersihkan diri dan ganti baju di toilet yang disediakan oleh warung-warung makan sederhana yag ada di pinggir pantai. Akhirnya kami memesan makanan, menunya ikan etong bakar lengkap dengan nasi dan sambal – lalapannya. Harganya cukup terjangkau, satu porsi ikan etong ukuran sedang dan nasi satu bakul kecil yang cukup untuk tiga orang yang sedang kelaparan setelah main air, hanya ditarif 60 ribu saja.

Walaupun hari Minggu, namun pengunjung tidak terlalu ramai. Menurut penuturan ibu penjaga warung, pantai Samudera Baru ramai jika hari-hari tertentu saja, misalnya liburan sekolah atau hari besar keagamaan.

Untuk kebersihan, ini juga yang saya keluhkan. Sepanjang pantai masih terlihat sisa-sisa bungkus makanan yang dibuang sembarangan. Hal tersebut membuat pantai terkesan jorok dan kumuh. Menjadi cermin bagi kita semua, seberapa banyak dan besar tentang rasa kesadaran kita akan kebersihan. Memang ini menjadi dilema dan PR bersama.

Namun, Pantai Samudera Baru tetap menjadi pilihan wisata murah meriah di Kabupaten Karawang.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pagi itu, kamu terlihat  begitu menarik perhatianku. Mulai dari pasmina batik, kaca mata, cardigan, rok batik, sepatu yang kaukenakan, dan tentu senyum lesung pipimu.
"Hei, itu ada teteh-teteh sendirian di sana. Ajakin gabung sama kita!" Kataku dengan penekanan suara penuh arti. Saat itu, ketika melihat sorot matamu yang penuh antusias dan semangat, aku memendam rasa iri pada kawan-kawan yang selalu mengawalmu semenjak awal keberangkatan hingga kepulangan. Dan ketika kamu benar-benar pulang..
kamu dan para 'pengawal'
Hijau Rumput, terbilang waktu yang singkat untuk megenalmu. Aku hitung, dua kali saja kita bertegur sapa. Pertama ketika kamu berbalik dan bertanya bagaimana caranya melompat dari batu besar ke air, aku saja tidak berani melakukannya, Teh. Jawabku singkat. Kedua saat foto bersama di depan air terjun. Kalau posisi Teteh seperti itu, muka aku gak keliatan XD ujarku, kemudian kamu membetulkan posisi.

"Kang Hijau Rumput yang mana?" Pertanyaan penasaran dariku terjawab sudah, meski aku merasa 'tertipu'. Kamu terlalu cantik untuk dipanggil "kang"..

Dan ternyata, pertemuan pertama Ahad itu, menjadi pertemuan yang terakhir juga. Padahal belum purna aku membalas status terakhir BBM-mu..
Love you too...

Status terakhir Hijau Rumput: foto saya dan dua orang teman

Selamat jalan, Hijau Rumput aka Berbi aka Sri Susanti..
Innalillahi wa inna ilaihi rodjiun...
Allahumma firlaha warhamha waafihi wa'fuanha


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bermalam di Puncak Dua Guntur yang Hangat

Puncak dua gunung Guntur menjelang malam, seusai shalat isya, saya memilih masuk ke dalam tenda. Sebetulnya perut sudah terasa lapar, karena sesampainya di puncak saya hanya makan mie cup, itupun berbagi dengan dua orang teman.  Saya merebahkan badan dan ngemil beberapa makanan ringan dan buah kiwi. Tim kami belum ada yang berinisiatif untuk masak, mungkin sama seperti saya, kelelahan setelah kurang lebih delapan jam mendaki gunung Guntur.

Ada yang istimewa di puncak dua ini, saya tidak tahu apakah di puncak Guntur yang lain juga kondisinya sama. Guntur yang merupakan gunung api aktif, dari dalam perutnya masih mengeluarkan kawah hangat. Ketika merebahkan badan di dalam tenda, rasa hangat menjalar ke tubuh saya. Karena hal tersebutlah ketika ngecamp di puncak gunung kali ini saya tidak membenamkan diri ke dalam sleepingbag. Saya menggunakan sleepingbag sebagai bantal. Beberapa menit sekali saya harus membolak-balikkan badan, mengubah posisi tidur. Karena kalau kelamaan dengan posisi yang sama badan kerasa panas juga, takut gosong, udah kayak kambing guling gitu XD Hangat tanah Guntur, seakan menjadi terapi bagi tubuh yang kelelahan setelah mendaki siangnya.

Suara-suara


Beneran deh, di Guntur tidur saya nyenyak pake banget. Bahkan di rumah sendiri pun saya jarang merasakan tidur senyenyak dan senyaman itu. Hm... alam memang subhanallah, hampir selalu mampu memberikan ketenangan dan rasa nyaman. Saya bangun sekitar pukul empat dini hari, itupun karena mendengar rintihan orang yang sakit dari tenda sebelah. Kemudian rasa tidak tenang menjalar ketika mendengar suara air mengalir dari dekat tenda kami, entah itu ada yang sedang menuangkan air atau malah yang bikin saya khawatir adalah jangan-jangan ada yang pipis di samping tenda kami. Asli, saya khawatir airnya merembes ke dalam tenda. Saya duduk sambil menepis pikiran tadi, kemudian memastikan tenda kami tidak basah.

Saya memutuskan untuk rebahan lagi sambil menunggu waktu subuh. Sambil mendengarkan percakapan dari tenda sebelah. Seseorang itu memanggil temannya berkali-kali.

“Kunaon, Ril? Lieur apa kumaha?”

“Teu nyaho, yeuh. Teu ngareunah weh,”

“Geus minum tolak angin can?”

“Encan,”

“Arek tolak angin?”

“Aya kitu?”

“Aya, ke ku urang cokot heula,”

Tak lama terdengar langkah kaki. Ternyata tenda tim tetangga sebelah letaknya berpencar. Satu tenda berada tepat di belakang tenda saya, tenda satunya lagi berada di samping tenda teman satu team saya yang letaknya di depan tenda saya. Hehe... bisa dimengerti gak sih penjelasan saya? Asa belibet gini. hoho :D Nah, teman orang yang sakit itu berniat mengambilkan obat di tenda yang satunya.

Lama tak mendengar langkah kaki yang kembali ke tenda tetangga yang sakit itu, tiba-tiba terdengar kembali suara yang sakit tersebut memanggil temannya. Minta dipijitin, katanya, masih dengan bahasa sunda. Saya dan kedua teman setenda memutuskan untuk keluar dan shalat subuh. Seusai shalat, kami saling bercerita, ternyata kedua teman saya juga terbangun oleh rintihan orang sakit di sebelah dan terjaga sampai waktu subuh, hanya saja kami saling diam.

Sunrise yang Kece dan Spagetty yang dinanti


Apa yang paling ditunggu-tunggu ketika ngecamp di gunung pada pagi hari? Hiyaaa... apa lagi kalau bukan sunrise. Matahari terbit selalu memikat hati siapa saja yang menatapnya. Kami sibuk mengabadikan gambar. Tak lupa kamipun berfoto dengan latar gunung Cikuray dan gunung tertingi di Jawa Barat, yaitu Gunung Ciremai yang  gagah berdiri di kejauhan. Diam-diam saya mengulang hamdalah dan takbir, betapa besar dan indah ciptaan-Nya.

Kita dan Gunung Cikuray di belakang :)
Ciremai di kejauhan dan ketinggian Guntur
Setelah puas menikmati matahari pagi, kami mulai melakukan aktifitas lainnya. Saya membereskan tenda kemudian membantu membuat sarapan. Sebetulnya ini yang saya tunggu-tunggu dari semalam, bahkan ketika keluar tenda, hal pertama yang saya tanyakan adalah spagetiii. Hahaha.. spageti menjadi salah satu menu makan team kami. Muka boleh lecek dan capek, wajah cemerong karena debu Gunung Guntur yang gersang, tapi makan ala Italiano. Hohoho... berasa di mana gitu pokoknya :P

Pendaki yang Sakit

Belum usai kami makan, dari tenda tetangga kembali terdengar rintihan orang sakit. Saya dan Teh Angur (satu dari tiga akhwat dalam team kami) saling tatap. Mau disamperin gak teh? Mungkin ada yang bisa kita bantu. Tanya saya pada Teh Angur. Hingga akhirnya kami sepakat untuk bertandang ke tenda tetangga. Menengok kondisi mereka.

Kami melihat satu orang terbaring lemas di dalam tenda. Sementara teman-temannya tengah sibuk memasak air dan sarapan. Kami mengucapkan salam dan meminta ijin masuk tenda untuk melihat kondisi teman mereka yang sakit. Dalam hal ini, teman saya yang satu ini, meskipun bukan tenaga medis namun cukup berpengalaman untuk menangani orang sakit semacam ini. Terlebih jam terbangnya menaklukkan gugung-gunung, membuatnya banyak belajar.

Namanya Darril, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung. Usianya baru sembilan belas dan ini pendakiannya yang kedua. Begitu jelas teman-temennya pada kami. Saya coba menyuapi Derril dengan air gula hangat sementara Teh Angur mencoba memulihkan kesadaran Derril dengan memijat kaki dan beberapa titik tubuhnya yang lain. Darril hanya mengeluarkan suara seperti bergumam dan lenguhan sakit. Teman-temannya bilang dia hypo. Tapi entahlah, saya masih menganggap kalau hypo itu kondisi dimana sesorang mengalami sakit akibat udara dingin di pegunungan, sementara puncak dua Guntur begitu hangat, seperti yang sudah saya ceritakan di atas.  

Melihat dari kondisinya, Darril harus segera diberikan bantuan medis. Akhirnya salah satu teman di kelompok kami berinisiatif untuk mengubungi ranger. Dari bekal kartu nama yang didapat dari posko pendaftaran kemarin, kami mendapatkan nomor telepon tersebut dan mereka segera menghubungi tim ranger yang standby di puncak satu. Jaraknya sekitar 30 sampai 45 menit ke puncak dua.

Harusnya kami turun gunung pukul delapan, tapi karena berat hati meninggalkan teman pendaki yang sakit, akhirnya tim kami memutuskan turun gunung jika tim ranger sudah datang. Sementara menunggu, kami mulai packing dan melakukan operasi semut, memastikan tak meninggalkan sampah di sana.

Kami turun gunung pukul sepuluh, ketika matahari di Guntur mulai terasa panas. Kami turun dengan perasaan yang campur aduk. Lega karena tim ranger sudah datang untuk memberikan bantuan kepada Darril, namun juga khawatir melihat kondisi Darril yang sangat lemah. Meskipun dia akan ditandu untuk menuruni gunung, tapi bisa dibayangkan bagaimana susah payahnya melewati puluhan kilometer hingga sampai di posko dengan trek Guntur yang kemiringannya cukup ekstream.

Main Ski Pasir


Cara yang paling efektif untuk menuruni gunung Guntur adalah dengan cara meluncur. Saya seperti tengah bermain sky, cuman bukan di air tapi di pasir yang pastinya meninggalkan debu yang teramat pekat di belakang. Hal tersebut yang mengharuskan saya menjaga jarak dengan pendaki di depan. Saya sempat bilang ke temen, kalau caranya seperti ini, saya mau ke Guntur lagi deh. Tapi gak mau nanjaknya, maunya pas turun aja :P hehe...

Hanya saja, menuruni trek pasir dengan cara meluncur juga bukan tanpa resiko. Ketika meluncur dengan menggunakan kaki kiri, sedangkan kaki kanan sebagai rem, memungkinkan resiko jatuh ke belakang yang mengakibatkan pantat mendarat duluan. Ketika kelelahan meluncur menggunakan kaki, kadang saya menggunakan cara lain, yaitu perosotan. Sampai-sampai, ketua team kami celananya bolong karena seringnya melakukan cara perosotan tersebut XD Sedangkan saya, baru sadar ketika sampai di bascamp bahwa coverbag bagian bawah sobek karena tergesek pada posisi perosotan XD akakkkkk...

Pukul empat sore kami sudah sampai di bascamp, mengambil KTP dan beristirahat sejenak untuk kemudian kembali ke rumah masing-masing.

Sampai di Rumah dan Sebuah Pesan
Karena dapat busnya lama pake banget, akhirnya saya sampai di rumah sekitar pukul satu dini hari. Saya langsung bersih-bersih badan, shalat, dan cas hp yang sudah low baterenya semenjak hari kedua di Guntur. Saya terkejut ketika membuka obrolan grup, seorang teman mengirimkan sebuah screenshoot berita bahwa pendaki Gunung Guntur, Darril meninggal dunia ketika menuruni Gunung 

Guntur. Innalillahi wa innailaihi rodjiun.

Sisa pagi itu meski sangat lelah, saya tak bisa sepicingpun memejamkan mata. Teringat dengan wajah yang saya suapi dengan air gula hangat di puncak dua. Sempat timbul penyesalan, mengapa baru tergerak melakukan pertolongan pertama setelah matahari meninggi. Padahal kami mendengar erangan sakitnya sedari pukul empat pagi. Kemudian seorang teman bilang, mari memaafkan diri sendiri. Toh ini sudah dicatatkan di lauful mahfuz.

Pendakian kali ini, Allah menyelipkan pesan kematian pada saya, pada teman satu team, pada kawan-kawan Darril, dan pada pendaki lainnya. Satu pekan setelahnya, beberapa teman satu team melakukan takziah ke makam Darril di Bandung. Saya tidak ikut karena Sabtu harinya kuliah... walaupun tidak mengenal Darril dan kawan-kawannya, namun kejadian ini sungguh membuat hati kami mendung beberapa lama setelahnya.
Teman pendaki melakukan takziah ke makam Darril
Darril dalam kenangan

Tenang di sana ya, Rill. Allah sayang padamu :)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Judul Buku: Sayap-sayap Sakinah
Penulis: Afifah Afra dan Riawani Elyta
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: Pertama, Juli 2014
Tebal: 248 Halaman
ISBN: 978-602-1614-22-8
Cover Buku Sayap-sayap Sakinah
Jika kita mau merenung sejenak, bahwa segala sesuatu, Allah ciptakan secara teratur, yang semuanya mengarah kepada keseimbangan. Coba lihat posisi tubuh manusia sendiri. Ada sepasang tangan yang masing-masing ada di kanan dan di kiri, juga sepasang kaki, sepasang mata, sepasang telinga. Dan jika jumlah organ itu hanya satu, seperti hidung, mulut, kepala, selalu diposisikan di tengah, dengan pertimbangan yang tepat antara kanan dan kiri. (halaman 40)

Makhluk-makhluk Allah di muka bumi ini pun selalu memiliki dua hal yang saling melengkapi. Pada gunung merapi misalnya, di satu sisi gunung adalah wujud yang kokoh dengan kepundan yang siap menyemburkan magma yang sangat panas. Akan tetapi, gunung pun selalu menampakkan panorama yang indah dengan bentuk-bentuk artistik serta tanaman-tanaman yang menawan. (halaman 41)


Langit adalah laki-laki dan bumi adalah wanita. Bumi memupuk apa yang dijatuhkan oleh langit. Apabila bumi kekurangan panas maka langit mengirimkannya. Apabila ia kekurangan kesegaran dan embun, maka langit memperbaharuinya. Tanpa bumi, bagaimana bunga dan pohon bisa mulai berkembang? Kalau begitu, apa yang dihasilkan oleh air dan kehangatan langit? Sebagaimana Allah memberikan keinginan kepada laki-laki dan wanita sampai akhir. Sehingga dunia akan terpelihara oleh kesatuan mereka. (Jalaludin Rumi)


Seperti yang diutarakan oleh jalaludin Rumi. Keseimbangan pun Dia tunjukkan pada sepasang laki-laki dan wanita, keduanya  merupakan satu kesatuan yang penciptaannya saling melengkapi. Saling mengisi. Saling memberi dan menerima. Laksana langit dan bumi yang digambarkannya dalam puisi di atas. Hingga satu kesatuan itu, kemudian kita sebut dengan nama: pernikahan.

Apa yang kita pikirkan jika mendengar kata: pernikahan? Bersatunya dua insan dalam bahtera yang suci? Atau mungkin ada yang mendefinisikan sebagai titik di mana berakhirnya sebuah penantian atau pencarian yang disebut sebagai jodoh kita? Tapi, benarkah bahwa sepasang manusia yang menikah itu sudah pasti berjodoh? Nah loh.

Dalam buku Sayap-sayap Sakinah dituliskan bahwa, bahkan, jodoh dan cinta pun belum tentu berjodoh. Seperti dinukil dari buku Sinta Yudisia “Kitab Cinta dan Patah Hati”, Zainab el-Nafzawiya menikah dengan Abu Bakar bin Umar. Zainab rela dipersunting oleh Abu Bakar, karena lelaki itu menyanggupi syarat berat yang ditetapkan Zainab untuk siapa yang mau menjadi suaminya, yakni harus menyatukan wilayah Maghribi, yang terbentang dari Afrika Utara hingga Andalusia.

Janji itulah yang kemudian memisahkan mereka. Untuk memenuhi janji, Abu Bakar harus melakukan ekspedisi ke Gurun Sahara yang sangat berat. Saking cintanya terhadap istri, Abu Bakar tak ingin menyeret sang istri ke sebuah medan yang sangat ganas, dan ia pun tak mau meninggalkan Zainab dalam perpisahan yang bertahun-tahun yang membuat Zainab terbelenggu dalam kesepian dan ketidakpastian. Akhirnya, ia memutuskan untuk menceraikan sang istri. Namun ia berjanji, seusai menaklukkan Sahara, maka ia akan kembali kepada Zainab.

Zainab yang merasa sedih dengan perceraiannya, akhirnya menikah dengan Yusuf bin Tashfin, yang tak lain adalah sepupu Abu Bakar. Sementara itu, Abu Bakar, melalui sebuah ekspedisi yang panjang, berat, dan melelahkan, akhirnya berhasil menaklukkan Sahara. Namun, saat kembali kepada Zainab, dia melihat betapa Zainab dan Yusuf saling mencintai dan menghargai. Rasa cinta masih ada di dada Abu Bakar, namun ia tak ingin menyakiti Yusuf. Dia memilih kembali ke padang pasir dan menghabiskan waktunya di sana. Abu Bakar meninggal dunia dalam kelegaan. Sebab, meskipun dia tak bisa kembali menjadi suami Zainab, dia menyaksikan perempuan itu berada si samping lelaki yang tepat.

Terkait dengan wanita yang menikah lebih dari satu kali, Ummu Salamah pernah bertanya: “Ya Rasulullah, ada di antara kami yang menikah dua sampai tiga kali. Jika dia meninggal dunia dan suami-suaminya masuk surga, siapakah yang menjadi suaminya di surga?” Rasul menjawab, “Wahai Ummu Salamah, dia diberi kebebasan memilih mana di antara suaminya yang paling baik akhlaknya.”

Lalu, siapakah yang akan dipilih Zainab jika kelak masuk surga? Bersama Yusuf atau Abu Bakar?
Entahlah....

Jodoh itu misteri. (halaman 33-34)

Jika tadi berbicara bahwa jodoh merupakan misteri, di bab yang lain dalam buku Sayap-sayap Sakinah dituliskan bahwa sakinah merupakan hadiah dari Allah. Dalam surat Ar-Rum ayat 21, sakinah berarti rasa nyaman atau merasa tentram. Tentu menjadi salah satu harapan terbesar bagi orang yang menikah ialah menjadikan hidupnya tentram bersama dengan pasangannya tersebut. 

Rasa tenang tersebut digambarkan dalam firman-Nya: “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187). Muhammad Nabiel Kadzim menjelaskan, bahwa maksud dari ayat tersebut adalah bahwa dengan menikah, sepasang suami istri harus bisa saling menutupi, menjaga, merawat, memberi kehangatan, menjadi perhiasan, saling mengganti, menyempurnakan, tolong-menolong dalam menanggung beban hidup, bersama-sama dalam merasakan kenikmatan, dan sebagainya. 

Jika sakinah merupakan hadiah dari Allah, maka tugas kita sebagai manusia adalah berusaha dan senantiasa berdoa agar Allah memberikan sakinah pada pernikahan kita. 

Dalam buku Sayap-sayap Sakinah, yang merupan hasil duet dari Afifah Afra dan Riawani Elyta, membahas segala seluk beluk pernikahan, mulai dari merencanakan jodoh, persiapan menikah, menghadapi hal-hal baru dalam kehidupan setelah menikah, dan serba-serbi pernikahan yang lainnya. Dikemas dengan bahasa yang ringan dengan diselingi catatan-catatan pengalaman penulis sendiri tentang kisah menuju pernikahannya, yang membuat buku ini jauh dari kesan menggurui. 

Quotes-quotes tentang cinta dan pernikahan yang disajikan, membuat buku ini tidak terasa membosankan. Ditambah, buku ini ditutup dengan puisi-puisi Afifah Afra yang kuat akan diksi-diksi yang merupakan ciri khas penulis.

Namun, saya merasakan bahwa buku ini dibuka dengan puisi yang bisa dibilang terkesan feminis. Menyajikan pembukaan dengan sebuah ‘permintaan’ atau mungkin ‘harapan’ dari seorang wanita kepada suami atau calon suaminya, meski hal ini memang manusiawi. Bait puisnya sebagai berikut: Suamiku, aku mengizinkanmu menikah hingga empat kali. Pertama menikahiku. Lalu menikahiku. Lalu menikahiku. Dan terakhir menikahiku.

Akan tetapi, di luar konteks itu. Buku ini cukup ringan untuk dijadikan bekal untuk yang akan, segera, atau sudah menikah.

*diikutsertakan dalam lomba menulis resensi buku Sayap-sayap Sakinah
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar

KARAWANG – Event ‘Karawang Creative Night’ tahun 2015 siap dikemas meriah. Selain menyajikan perwajahan khas Kabupaten Karawang dari kondisi sejarah, kekinian dan Karawang kedepan, juga bakal menyuguhkan beragam kegiatan seni budaya yang akan ditampilkan di spot-spot acara di Karawang Central Plaza (KCP).

Pemrakarsa kegiatan, Asep Irawan Syafei, yang juga CEO Fakta Jabar Mediatama mengatakan bahwa secara keseluruhan, panitia mencatat ada lebih dari ratusan komunitas seniman dan budaya yang akan terlibat dalam tim kreatif gelaran ‘Karawang Creative Night’ tahun 2015 yang mulai digelar 26 September sampai 27 September.

“Dalam gelaran kali ini, ada berbagai macam tim kreatif yang akan terlibat, dari mulai tim kreatif seniman budaya tradisi, kontemporer, modern, kuliner dan lainnya yang akan ikut memeriahkan acara,” katanya.

Asep selanjutnya mengatakan bahwa perbedaan lain dalam agenda ‘Karawang Creative Night’ adalah semakin banyaknya acara-acara seni yang ditampilkan untuk menghibur sekaligus memberikan pengetahuan bagi masyarakat baik pendatang maupun asli Karawang.

“Banyak konsep dengan ditambah dengan acara yang berbeda dalam ‘Karawang Creative Night’ ini, selain seni, budaya, acara juga akan menampilkan pagelaran sejarah, budaya, peradaban Citarum, produkproduk- lokal, kuliner khas Karawang, kreativitas Urang Karawang dan lainnya. Inti sarinya, semua yang menjadi jati diri dan kebanggaan Urang Karawang bisa disaksikan,” katanya.

Kecuali itu, sambung Asep, event ini pun akan memberi ruang venue untuk memberikan apresiasi atau penghargaan bagi orang-orang yang berjasa terhadap Karawang. Semisal dari pelaku seni dan atlet, guru ngaji sampai petugas kebersihan.

“Juga event akan dihadiri oleh para pelaku bisnis kreatif dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Bahkan kita undang juga dari manca negara, supaya bisa memotret dan mendongkrak potensi Karawang agar bisa mendunia,” ungkapnya, menjelaskan event ‘Karawang Creatif Night’ dibuka cuma-cuma kepada para pihak yang berminat mengisi acara.

“Jadi untuk siapapun yang berminat memamerkan dan menjual produk-produk khas Karawang, silahkan, gratis. Termasuk juga untuk pengunjung,” ujar Asep Irawan Syafei menambahkan gelar event disertai pembagian doorprize berhadiah motor, TV, HP dan lain-lain.


*Fakta Jabar


Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Ceritanya, postingan kali ini dalam rangka belajar menulis resensi buku anak, hehe.. Biasanya kalau nulis review buku, saya berpanjang kali lebar, eh ini hanya dibatasi 200 kata. Kenapa hanya 200 kata? hm... gak apa-apa sih, cuman ya pengin aja gitu sesuai dengan standar resensi buku anak yang dimuat di Kompas. Nex, semoga bisa lebih rajin baca dan nulis resensi lagi sayanya :D

Oia, sebelum nulis sempet ngintip blognya tetangga soal cara mengirim Resensi Anak Kompas. Di situ dituliskan, karena target resensinya adalah anak-anak, jadi harus menggunakan bahasa yag mudah dimengerti dan tidak terlalu pajang tulisannya. Yoi, ini dia hasil eksperimentnya, langsung aja, ah..

Gumpla!
Judul Buku    : Gundam Attack!
Penulis        : Wylvera W. & Darryl Khalid Aulia
Cetakan    : I, Mei 2015
Tebal        : 140 hal
Penerbiit    : Noura Books


Ketika membereskan kamar Ciko, mama tidak sengaja menemukan kertas ulangan pelajaran Sejarah milik anaknya itu.

REMEDIAL!

Begitu Pak Kasman membuat catatan sangat singkat di bawah nilai yang tidak mencapai standar itu. Akhirnya mama membongkar file kumpulan hasil ulangan Ciko. Juga melihat buku-buku tugas yang lainnya. Lidah mama bolak-balik berdecak kesal. Buku catatan tersebut hampir semua diakhiri dengan gambar robot beraneka ragam bentuk. Ini bukti bagi mama, kalau Ciko tidak lagi pernah berkonsentrasi mengikuti pelajaran di sekolah.
Bukan hanya soal pelajaran, akhir-akhir ini Ciko juga sering lupa makan, bangun kesiangan, dan shalat pun tidak tepat waktu. Tak salah lagi, semua itu terjadi karena Ciko keseringan main Gumpla alias gundam plastik, yaitu mainan yang harus dirakit sendiri.

Buku ini berisi tentang ketidaksukaan seorang ibu terhadap hobi baru anaknya, yaitu merakit robot bernama gumpla, yang telah menyita segala konsentrasi anaknya tersebut. Ciko merasa dibela papanya, ketika papa membelikannya satu set mainan gumpla terbaru. Padahal jelas-jelas mama dan kakak perempuannya, Sasa, menujukkan rasa tidak suka.

Banyak hal yang bisa diambil sebagai pelajaran ketika usai membaca buku ini. Ditambah lagi buku ini ditulis oleh sepasang ibu-anak, yang menghadirkan dua sudut pandang yang berbeda. Sangat menarik untuk dibaca.

*Lina Astuti, seorang pendidik dan aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Karawang.
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
berkacalah ia
; pada debu yang mengakrabi jalan,
pada selembar daun
yang tak kau hiraukan

berkacalah ia
; pada bersitatap
makna yang lupa dibahasakan,
pada kata ikhlas
yang susah payah untuk tak kau umbar

berkacalah ia
; pada ragam lakon
kehidupan,
yang menuntut banyak penerimaan

dan berkacalah ia
; pada cermin
yang tak mampu memantulkan bayangan

maka berkacalah ia
; pada tanpa kaca

Cikampek, 16032015
dini hari
*untuk diri
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar

Bismillah...

Ahad siang di suatu halaqah, murrabiah saya menyinggung tentang Muwasofat Tarbiyah. Saya sendiri gagal mengingat  apa yang dimaksud oleh murrabiah saya tersebut, padahal di tempat liqo sebelumnya saya pernah menerima materi itu. Duh, dengan menyadari betapa longgarnya ilmu yang mampu saya ikat, semoga duduk melingkar setiap pekan ini  bukan menjadi hal yang tak ada gunanya bagi saya.

Jadi teringat kalimat salah satu sahabat Nabi Salallahu ‘alaihi wasalam, Ali bin Abi Thalib. “Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya!” begitu ujarnya.

Baiklah, kali ini saya coba berikhtiar dalam belajar. Maka, saya tuliskan materi yang diberikan oleh murrabiah tentang 10 Muwasofat Tarbiyah.

Menurut sumber yang saya baca, Muwasofat berasal dari kata wa-sho-fa yang artinya watak atau rupa diri. Sedangkan Tarbiyah secara umum berarti pendidikan. Sedangkan menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud dalam bukunya yang berjudul Peringkat-Peringkat Tarbiyah Ihwanul Muslimin, mengartikan bahwa Tarbiyah adalah cara ideal berinteraksi dengan manusia untuk mengubah mereka dari suatu keadaan ke keadaan yang lebih baik.

Dari penjelasan di atas, maka saya simpulkan bahwa Muwasofat Tarbiyah yaitu watak atau rupa diri aka sikap yang mestinya dimiliki oleh muslim yang sudah tertarbiyah. Dari situ saya mulai berkaca, sekiranya sudahkah diri ini memiliki 10 Muwasofat Tarbiyah yang dimaksud. Lalu, apa saja 10 poin tersebut? baiklah, berikut saya tuliskan dengan penjelasannya yang ringkas.

Pertama adalah Salimul Aqidah atau Aqidah yang lurus. Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim memiliki ikatan iman yang kuat terhadap Allah SWT, tidak melakukan perbuatan syirik dan menyekutukan-Nya.

Kedua Shahihul Ibadah, yaitu ibadah yang benar. Mengerti, memahami dan melakukan ibadah dengan cara yang benar. Tidak dikurangi ataupun dilebih-lebihkan. Serta senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah itu sendiri.

Ketiga Matinul Khuluq, yaitu akhlak yang mantap. Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah yang memiliki akhlak yang baik, sebaiknya kita mencontoh hal tersebut. karena sesungguhnya Rasulullah adalah suru tauladan yang baik.

Keempat Qadiran ala Qasbi, yaitu mampu berusaha. Memiliki keyakinan kalau kita mampu dan yakin dengan usaha yang kita lakukan, tidak mengharapkan pertolongan orang lain selagi masih mampu melakukannya sendiri. Hal tersebut diseimbangkan dengan tidak takabur ataupun riya.

Kelima Mutsaqqa Fiqri, yaitu berpengetahuan luas. Senantiasa terus belajar untuk memperluas wawasan, baik wawasan tentang agama maupun ilmu umum lainnya.

Keenam Qawiyyal Jism, yaitu kuat tubuh badan. Dalam artian sehat dan kuat antara akal pikiran dan badan. Karena Rasulullah pun berkata, bahwa Allah lebih mencintai muslim yang kuat dibanding dengan muslim yang lemah.

Ketujuh Mujahadah ala Nafsi, yaitu mampu melawan hawa nafsu. Mampu menahan dan  menjauhkan diri dari hal-hal yang haram, melatih diri dalam menghadapi masalah dengan sabar dan tidak marah.

Kedelapan Haarithun ala waqtihi, yaitu mampu menjaga waktu. Membiasakan bangun awal, menepati janji dan tidak berlebihan atau mubadzir dalam menggunakan watu denga hal-hal yang tidak penting atau lalai.

Kesembilan Munazzamun fi syu’unihi, yaitu tersusun dalam urusan. Teratur dalam memprioritaskan kegiatan-kegiatan.

Kesepuluh Naafi’uln Lighoirihi, yaitu berguna bagi orang lain. Memiliki sifat empati, menolong tanpa diminta, pemurah, dan mampu menunaikan hak orang lain.

Itulah kesepuluh  Muwasofat Tarbiyah. Sepertinya masih ada yang belum benar-benar mampu saya jalankan. Semoga dengan ini bisa menjadi pengingat diri untuk menjadi lebih baik dan baik lagi.

Wallahualam

September 2015
Untuk diri dan yang sedang memperbaiki diri
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Bismillahirrahmaanirrohiim.

Kali ini saya mau sedikit berbagi cerita tentang salah satu anak yang membuat saya mengerti tentang arti syukur. Bagi beberapa orang yang dekat dengan saya, barangkali sudah mendengar cerita ini langsung dari mulut saya, bahkan cerita ini berulang-ulang saya ceritakan, seakan tak pernah bosan.

Suatu hari, kelas kami mendapatkan rezeki. Masing-masing dari kami mendapatkan satu box berisi nasi uduk dan sepotong ayam goreng. Ada salah satu anak didik saya di kelas tiga yang tengah syukuran karena kholas menghafal juz 30. Jadilah pagi itu, usai murodjaah di kelas, kami sarapan bersama dengan nasi box tersebut.

Ketika membuka nasi milik saya, seorang anak kelas satu tiba-tiba nongol di samping saung kelas kami. Dengan sapaan dan senyumnya yang khas.

“Bu Linaaa,” sapanya sambil membetulkan letak kacamata.

“Hei, Assalamu’alaikum. Sudah sarapan belum?” kata saya sambil tersenyum.

“Waalaikumsalam. Udaaah, bu,” jawabnya.

“Mau nyicip nasi uduk pake ayam-nya Bu Lina gak?” saya menawarkan.

Anak itu mengangguk, kemudian saya menyuruh dia naik ke saung kelas kami. Kami berbagi nasi uduk tersebut. Saya dan anak itu makan satu box berdua. Hohoho... ada yang mau bilang ini so sweet? :P

Ketika kami sedang makan, tiba-tiba ada anak yang melaporkan temannya yang ketahuan makan sambil berdiri.

“Bu Lina, tuh si itu makan sambil berdiri.” Seorang anak laki-laki melapor dengan setengah berteriak.

“Eh, ya kamu nasihatin atuh!” kata saya.

“Hey, Laa yasrobanna ahadumminkum qooiman,” beberapa anak koor mengeluarkan sebuah hadits yang tulisannya terpampang di samping kelas kami. Janganlah salah satu dari kamu minum sambil berdiri. Kurang lebih begitu artinya.

“Jangan makan dan minum sambil berdiri! Nanti jadi temennya setan.” Yang lain menimpali.

Si anak yang dinasihati temannya langsung duduk dan nyengir sambil ber-hehe.

“Maaf, lupa Bu.” anak itu memberikan alasan.

“Yasudah, tidak apa-apa. Lain kali enggak boleh lupa ya! Harusnya sudah menjadi kebiasaan. Tidak makan atau minum sambil berdiri. Tidak pula makan dan minum dengan tangan kiri.” Sahut saya. anak itu kembali nyengir.

“Bu Lina, Alhamdulillah kalau aku mah gak pernah makan pake tangan kiri,” anak yang makan satu box berdua dengan saya ambil bicara.

“Subhanallah, bagus itu.” Kata saya, memberi pujian.

“Iya bu, soalnya kan emang tangan kirinya gak bisa kalau buat pegang sendok atau ambil makanan.” Kata dia lagi sambil tersenyum dan lanjut memasukkan nasi ke mulutnya.

Mendengar penjelasannya tersebut, saya hanya bisa tertegun kemudian tersenyum kepadanya. Memandang wajahnya yang polos dan anggota tubuhnya yang lain. Ada rasa yang tak bisa saya deskripsikan ketika mengingat kembali kalimatnya di awal. Alhamdulillah, kalau aku mah gak pernah makan pake tangan kiri. Kalimat tersebut  penuh dengan rasa syukur, yang barangkali kalau dia mau, sekali lagi saya tegaskan, kalau dia mau, bisa saja dia ganti dengan kalimat penyesalan, misalnya “Ya iyalah, orang tangan kirinya gak bisa dipake makan. Mau-gak mau.” Apalagi anak itu masih kelas satu SD. Tapi dia lebih memilih kalimat dengan penuh rasa syukur. Tegas menerima. Subhanallah.

Ya, anak tersebut menderita, maaf, cacat tubuh di bagian tangan dan kakinya. Meskipun tangan kanannya tidak bisa dibilang normal seperti anak-anak yang lainnya karena tidak memiliki bentuk jari yang sempurna, tapi bentuknya lebih baik jika dibanding dengan tangan kirinya yang sama sekali tidak berjari.

Dalam kalimatnya, anak itu menegaskan, bahwa kekurangan yang Allah karuniakan padanya, menjadi jalan bagi dia untuk taat dan tidak memberikan kesempatan baginya untuk hanya sekedar lupa makan menggunakan tangan kiri. Anak itu benar-benar tahu bagaimana caranya bersyukur.
Saya malu. Dengan fisik yang sempurna, harusnya bisa lebih taat dan bersyukur dibanding anak itu.

Dan diam-diam saya menaruh rasa kagum pada kedua orang tua anak tersebut. Tentu merekalah yang menanamkan sifat dan pola pikir yang baik pada anak itu. Mengajarkan tentang caranya bersabar dan bersyukur dengan apa yang Allah berikan. Saya juga kagum dengan lingkungan yang mampu menerima orang-orang dengan keterbatasan seperti anak itu dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Saya jadi teringat dengan kalimat yang dilontarkan oleh kepala sekolah. Bahwa, yang perlu belajar untuk beradaptasi dengan lingkungannya bukan hanya anak-anak ‘istimewa’ yang memiliki kekurangan, tapi juga orang-orang yang menganggap dirinya ‘normal’ seperti kita.  Belajar bagaimana caranya menerima orang-orang ‘istimewa’ tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tidak dengan mencemooh, tidak pula dengan iba yang berlebihan. Mereka tentu ingin diperlakukan sama seperti kita ingin diperlakukan.

Semoga Allah, selalu anugerahkan kepadamu hati yag ikhlas, Nak...

*Buat Ezy :)

September 2015
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Beberapa bulan terakhir, saya lumayan banyak berbelanja buku. Sempat syok  ketika menghitung jumlah  buku yang dibeli antara bulan Juli sampai September. Terlebih, rata-rata buku yang saya beli merupakan buku-buku yang hanya memenuhi ‘nafsu’ gila baca saya, tak jauh dari novel-novel dan kumcer saja. Padahal, saya sempat menargetkan untuk mulai rutin membeli buku-buku anak. Terlebih memang jenis buku tersebut yang menurut saya urgent untuk saya miliki guna menunjang program taman baca maupun program lainnya, semisal perpus untuk sekolah-sekolah ‘mimpi’ saya.

Karena hal tersebutlah, mulai bulan depan (Oktober 2015) saya akan puasa belanja buku selain buku-buku anak. Jadi intinya, saya hanya boleh membeli buku anak saja, entah itu dongeng, novel anak, kumcer, atau majalah anak-anak. Duh, semoga kuat ya buat gak beli novel, hehe... XD

Selama program ini berlangsung (belum diputuskan berjalan berapa lama), saya sih berdoa semoga masih ada buku pinjaman yang bisa saya baca. Meski seringnya, ketika selesai baca buku pinjaman dan ternyata buku itu keren banget, pasti saya berniat untuk memiliki buku tersebut. Suatu saat saya akan membelinya sekedar untuk koleksi pribadi dan masuk list “Buku Keren” dalam rak buku.


Nah, setelah program ‘puasa’ ini selesai, berikut adalah beberapa buku yang kemudian pengin saya miliki (sengaja ditulis supaya tambah semangat ngumpulin buku anak-anaknya :D), dan ketika belanja buku gak terlalu melenceng dari daftar yang saya buat ini. Hehe...


Dilan 1991, ini buku kedua dari novelnya yang pertama berjudul Dilan 1990. Buku pertamanya bikin ketawa tengah malam (karena bacanya pake jam kalong) dan buat mood saya lumayan bagus karena humor segar gaya Pidi Baiq yang menghibur banget.


Saya sudah menyelesaikan baca buku ini (pinjam teman), tapi ya seperti yang saya singgung di atas. Selalu pengin punya buku-buku keren walaupun sudah baca sebelumnya. Hm... kalau berbicara buku-buku Bang Darwis, sebetulnya pengen punya semua koleksinya, tapi judul inilah yang menjadi wishlist utama dari seabreg karya beliau :D.


Berbicara Muhammad Alfatih, saya pernah  membaca kisahnya dari beberapa buku sejarah. Tapi ketika megetahui Felix siaw menuliskannya dengan sesi khusus Al-Fatih, rasa-rasanya buku sejarah yang pernah saya baca itu gak akan ada apa-apanya (karena hanya sub bab dari sebuah buku, sedangkan buku ini merupakan tema utamanya). Sudah lama ngidam buku ini, tapi sampai sekarang belum melihat penampakannya di toko buku.

Yang ini true story, perjalanan Tetsuko Kuroyanagi menemui anak-anak di berbagai belahan dunia sebagai duta PBB. Buku pertamanya pernah punya, kemudian hilang di loker waktu masih kerja di pabrik :(

My Avilia-nya Mba Ifa Avianty, she is my favorite writer :D

Masih banyak sih wishlistnya, tapi buku-buku di atas berada pada keinginan paling atas dari daftar buku yang saya mau, hahaha...

Selain itu, ada juga tumpukan buku di kamar yang belum kunjung saya baca. Ini jadi pe-er buat saya untuk menghabiskannya sambil menunggu waktu yang tepat untuk memiliki buku-buku yang saya sebutkan di atas. Buku yang berada di daftar tunggu untuk dibaca di antaranya:
1. Rindu - Tere Liye
2. Api Tauhid - Habiburrahman El Shirazy
3. Bapangku bapunkku - Pago Hardian
4. Sayap-sayap Sakinah - Afifah Afra feat Riawani Elyta
5. Sayap-sayap Mawadah - Afifah Afra feat Riawani Elyta
6. Akik dan Penghimpun Senja - Afifah Afra
7. Novel Hujan Bulan Juni - Sapardi Djoko Damono

hehehe... ternyata daftar tunggu bacanya lebih banyak dari yang saya kira *lirik rak buku, masih ada beberapa buku yang belum terabsen di sini :D :P*


Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Masih inget terakhir baca bukunya Mbak Ifa Avianty yaitu dwilogi Facebook on Love yang berhasil mengaduk-aduk  emosi saya pada saat membacanya. Chapter pertama maupun yang kedua dari buku tersebut sama-sama menghadirkan sekelumit drama rumah tangga dengan segala bumbu-bumbunya. Ditambah dengan gaya penuturan mba Ifa yang berhasil membuat saya jatuh cinta pada tulisannya yang pertama (pertama kali baca tulisan mba Ifa di kumcernya yang berjudul Musim Semi Enggak Lewat Depok).
 
Nah, kali ini ceritanya saya mau me-review novel Mba Ifa yang judulnya Bukan Cinderella. Novel setebal 215 halaman ini terbitan Noura Books, kalau gak salah dulu namanya penerbit Mizan Media Utama kemudian berganti nama menjadi Noura Books.

Buku ini  memberikan catatan rekor bagi pembaca yang agak malas seperti saya, bisa menghatamkan novel ini dalam jangka waktu 3 jam saja.. saking serunya atau emang gak ada kerjaan lain, eh XD (tapi asli novelnya seru :D).
**
Bukan Cinderela

Apa yang ada di dalam pikiran kita ketika mendengar nama Cinderella? Seorang gadis miskin yang tinggal bersama ibu dan saudara tirinya. Dia diperlakukan layaknya pembantu, hingga—singkat cerita ia dipersunting oleh seorang pangeran dari sebuah kerajaan kemudaian kisahnya diakhiri dengan kalimat, “Cinderella dan Sang Pangeran akhirnya menikah dan hidup bahagia selama-lamanya.”

Tapi judul buku ini Bukan Cinderella! Tentu karena Laili, tokoh utama dalam novel ini, tidak tinggal bersama ibu dan saudara tiri yang jahat. Dia adalah seorang anak yatim piatu yang tinggal bersama adik laki-lakinya, Yusuf. Untuk menopang kehidupannya bersama Yusuf, Laili berjualan makanan yang ia buat sendiri. Keahlian memasak yang diturunkan dari almarhum ibunya yang meninggal karena kangker rahim tersebut sangat membantu kelangsungan hidup mereka berdua. Tekad Laili menyekolahkan Yusuf hingga ke perguruan tinggi. Sementara dirinya mencukupkan diri dengan bekerja sambil lanjut kuliah semampunya di jurusan sastra Inggris.

Laili tinggal di rumah sederhana warisan orang tuanya. Dia memiliki tetangga kaya raya tepat di sebelah rumahnya. Anak tetangga yang kaya raya tersebut bernama Andra yang sebaya dengan Yusuf, mereka berdua bersahabat. Sedangkan ibunya Andra, sesekali memesan masakan atau kue buatan Laili. Meski kaya raya dan keturunan ningrat, keluarga Andra sungguh baik hati terlebih kepada Laili dan adiknya.

Dilamar Pangeran

Andra tumbuh menjadi laki-laki yang tampan, namun cenderung pendiam dan serius. Usianya terpaut lima tahun dengan Laili. Namun hal tersebut tak membuat Andra mengurungkan niat ketika memutuskan untuk melamar Laili, kakak dari sahabatnya, Yusuf.

Pada saat itu Andra menjelang lulus kuliah ketika keluarganya mendesaknya untuk menikah. Dia yang merupakan cucu tertua dari keluarga eyangnya, memiliki kendali untuk melanjutkan kemudi bisnis keluarganya, dengan syarat sudah menikah. Kemudian dari pihak keluarga, terutama ibunya, mengajukan nama Laili sebagai calon istrinya.
“Terus terang... saya tidak punya peraasaan apa-apa terhadap Mbak Laili. saya hanya ingin membahagiakan kedua orang tua saya. Apa saya salah?”
Lalu bagaimana dengan perasaanku? Sekarang saja aku sudah nyaris mati, mendengarkan gaya bicaranya yang dingin dan kaku, bahkan agak terkesan ketus. (Hal: 22)

Rumah Tangga Aneh

Andra menikahi Laili tanpa rasa cinta. Namun tidak begitu dengan Laili, diam-diam dia menaruh hati kepada suaminya tersebut. Meskipun begitu, Andra sedang berusaha untuk mencintai Laili. Tiga bulan pernikahan mereka terkesan begitu aneh, terlebih Andra dan Yusuf membuat satu perjanjian. Yusuf tidak mengijinkan kakaknya disentuh oleh suaminya sendiri, jika Andra belum berhasil mencintai kakaknya tersebut. Perjanjian yang aneh. Bahkan sepasang suami istri itu tidur di kamar yang berbeda. Sungguh pernikahan yang aneh.

Dalam pernikahan mereka, hadir Pepey yang merupakan cinta pertama Andra. Pepey masih sepupuan dengan Andra, hal tersebut yang membuat orangtua Andra bersikeras menjauhkan keduanya. Hadirnya kembali Pepey di kehidupan Andra membuat gejolak hebat di hati Laili dan rumah tangga mereka.

Ketika menyadari konfik utama di novel ini, saya jadi teringat tentang kalimat yang saya tuliskan di tatus FB saya, tentang kata ‘angkuh’, bahwa menjadi angkuh adalah bagian dari menjaga diri. Nah, ini juga yang terjadi di antara Andra dan Laili. Mereka berdua angkuh untuk mengungkapkan perasaannya masing-masing. Padahal mereka berdua sudah jelas-jelas resmi sebagai pasangan suami-istri (enggak kayak saya yang jomBlo, Eh :P)

Yang menarik dari novel ini, sekaligus menjadi ciri khas tulisannya mba Ifa Afianty adalah dari sudut pandang yang diambil. Novel ini ditulis dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kadang sudut pandang Laili, kadang Andra, Pepey, dan Ibu Andra.

Kehadiran tokoh Pepey menjadikan novel ini berasa sinetron banget. Tapi, tetap saja saya suka dengan jalan cerita dan endingnya. Banyak pelajaran rumah tangga yang bisa dijadikan bekal bagi yag sudah menikah maupun yang akan (segera) menikah :D

Satu lagi ciri khas dari novel mba Ifa Afianti yang tak luput dari perhatian saya. Mba Ifa sering ‘menyulap’ tokoh utama laki-laki di ceritanya sebagai sosok yang dingin, cool, dan pas jika dijuluki sebagai “Prince Charming”. Ehm...

Cover Buku Bukan Cinderella
Judul Buku: Bukan Sinderella, Kadang Cinta Tak Bisa Memilih
Penulis: Ifa Avianty
Penerbit: Noura Books
Tahun Terbit: Februari 2015, Cetakan Pertama
Jumlah Halaman:215 hal
ISBN: 978-602-1606-87-2

**
September 2015
Share
Tweet
Pin
Share
5 komentar
Rengganis, Novel  Tentang Pendakian

Judul Buku: Rengganis Altitude 3088
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Agustus 2014, Cetakan Pertama
Jumlah Halaman: 232 Hal
ISBN: 978-602-1614-26-6
Cover Novel Rengganis
Dia baru saja menyelinap keluar. Terbangun oleh gemerisik angin yang menabrak-nabrak tenda. Dua lapis jaket membungkus tubuhnya. Satu jaket polar dan satu jaket parka gunung. Tak ada seorang manusia lain pun yang terlihat. Seluruh penghuni kerajaan sang dewi telah tertidur. Pandangannya lurus ke depan. Kemudian, tiba-tiba saja tatapannya berubah menjadi tajam. Sangat tajam. Menatap lekat sesuatu. Atau lebih dari satu. Perlahan-lahan dia berjalan meninggalkan tenda. Meninggalkan teman-temannya yang tidur di dalam tenda. Menjejaki rerumputan basah dalam langkah-langkah pasti. Dermaga itu tujuannya. Mendekati tarikan magnet bercahaya. Memanggil-manggilnya dengan suara tak biasa.
Rengganis, pentas apa sebenarnya yang tengah dilangsungkan?
Hingga pagi datang, anak muda itu tak pernah kembali lagi ke tenda... (Hal: 6)

Paragraf di atas merupakan prolog sekaligus sinopsis yang disajikan dalam novel Rengganis Altitude 3088. Ditulis dan ditempatkan dengan apik sehingga berhasil membuat pembaca penasaran sekaligus ingin segera menuntaskan bacaannya untuk menjawab misteri di dalamnya.

Rengganis merupakan nama salah satu puncak di pegunungan Argopuro. Nama tersebut diambil dari nama Dewi Rengganis, yang merupakan salah satu selir dari raja Majapahit. Konon, Dewi Rengganis hilang beserta keenam dayangnya di danau Hidup. Sedangkan angka 3088 merupakan ketinggian gunung Argopuro, yang menjadi latar novel ini.

Novel yang ditulis oleh Azzura Dayana ini berisi tentang perjalanan delapan orang pendaki menyusuri pegunungan Argopuro yang terletak di Probolinggo, Jawa Timur, yang merupakan pegunungan dengan trek terpanjang di pulau Jawa. Uniknya, penulis mengangkat setting gunung yang tidak terlalu populer bila dibandingkan dengan dua gunung yang menghimpit Argopuro, yaitu Gunung Semeru dan Gunung Raung. Hal tersebut sekaligus menjadi upaya penulis untuk mengangkat nama Argopuro yang selama ini memang kurang terkenal, terlebih di kalangan masyarakat yang tidak mencintai kegiatan pendakian.

Ialah Dewo, Fathur, Rafli, Dimas, Acil, Ajeng, Nisa, dan Sonia, delapan orang pendaki yang menjadi tokoh dalam novel ini. Catatan penting dari novel Rengganis adalah tidak adanya tokoh utama yang lebih ditonjolkan oleh penulis. Dari kedelapan tokoh, semuanya memiliki porsi yang sama dalam kisah pendakian tersebut. Penulis memosisikan diri secara netral dalam mengelola tokoh-tokoh di dalam novel ini, namun di sisi lain menimbulkan kesan penokohannya kurang kuat.

Runtutan pendakian dituliskan secara jelas, nama tempat dan kondisi alam maupun treknya pun dideskripsikan dengan cukup baik, sehingga pembaca digiring untuk merasakan alur pendakian yang dialami oleh kedelapan tokoh-tokohnya. Sabana Cikasur, Rawa Embik, Sabana Lonceng, puncak Rengganis, sungai Cisentor, danau Hidup, dan puncak utama Argopuro merupakan tempat-tempat yang Dewo dan kawan-kawannya lalui. Bagi yang  pernah mendaki Argopuro, novel ini bisa menjadi media nostalgia pendakian atau bisa sebagai gambaran bagi yang belum pernah ke sana.

“Seolah-olah kita ini sedang berada di antara beberapa mangkuk hijau yang disusun terbalik dan saling didekatkan. Dan sekarang kita sedang berdiri di lereng yang tinggi di salah satu mangkuk, memandangi lereng-lereng tinggi mangkuk-mangkuk lain.” (Hal: 26)

Novel ini memiliki dua ketertarikan sekaligus, yang pertama adalah tentang pendakian dan yang kedua yaitu tentang sejarah. Seandainya penulis bisa lebih bersabar untuk mempertebal novel ini, terutama dalam konteks sejarah maupun mitos tentang Dewi Rengganis, maka bisa menarik dua minat golongan pembaca tersebut.
Adapun konflik dalam novel ini adalah ketika Dewo terperosok ke dalam jurang namun Rafli menunjukkan sikap yang kurang baik. Hingga akhirnya Rafli dinyatakan hilang pagi-pagi saat mereka berkemah di dekat danau Hidup. Novel ini terasa menegangkan ketika mencapai halaman-halaman terakhirnya.

“Leave nothing but footprint, take nothing but picture, kill nothing but ego,” Fathur mengumandangkan slogan pendaki sambil mengacungkan sebelah tangannya dan bergegas melakukan operasi semut. Membersihkan semua sampah yang ada.

“Bukannya kill nothing but time?” Nisa mencoba meralat.

“Kuimprovisasi aja, Nis. Kayaknya lebih bagusan membunuh ego daripada membunuh waktu. Hehe..” (Hal: 208).

Pelajaran-pelajaran berharga tentang pendakian diselipkan dengan cantik di dalam novel ini. Bagaimana mereka melakukan survival, cara memperlakukan alam, kesetiakawanan, cara mengendalikan diri dan mengolah ego bagi. Poin-poin tersebut menjadikan novel ini layak dibaca bagi para pendaki atau calon pendaki.
***

September 2015
Diikutsertakan dalam Lomba Menulis Resensi Novel Indiva 2015.
Share
Tweet
Pin
Share
11 komentar
Ahad ba’da dzuhur, masjid Aljihad-Karawang mulai lengang ditinggal jamaahnya. Sayup-sayup lantunan tilawah masih terdengar di sudut masjid. Sementara itu, kita duduk berhadapan dan saling bercerita, seperti biasa, bercerita tentang apa saja. Hingga bermuara pada sebuah kisah yang kamu tuturkan kembali padaku... Kisah yang diceritakan oleh ustadz muda yang sama-sama kita ‘gemari’. Terimakasih atas ilmunya, Bungsu. Teteh abadikan dalam tulisan ini. Semoga harapan terbesar kita, jadi muslimah shalihah (ehm), Allah catatkan dan kuatkan untuk mewujudkannya. Aamiin...
***

Seorang ustadz muda menceritakan kembali sebuah kisah perjalanan Aisyah binti Abu Bakar radiallahuanha kepada istrinya. Suatu hari, dalam perjalanan pulang usai peperangan, Aisyah binti Abu Bakar yang ikut serta dalam rombongan kaum muslimin, beliau kehilangan kalungnya. Ummul mukminin tersebut menduga, bahwa kalungnya jatuh di tempat pemberhentian mereka yang terakhir. Maka, Siti Aisyah kembali ke tendanya, tempat di mana sebelumnya beliau beserta kaum muslimin beristirahat, demi mendapatkan kembali kalungnya tersebut. Sekian lama ia mencari kalung itu, sementara yang lainnya tak seorangpun yang menyadari kalau istri Rasulullah tersebut tidak ada dalam rombongan.

Ketika menyadari dirinya sudah tertinggal jauh dari rombongan, maka Aisyah radiallahuanha hanya bisa pasrah. Berharap ada rombongan kaum muslimin yang kembali untuk mencarinya. Karena saking lelahnya terlalu lama menunggu, akhirnya beliau tertidur.

Tanpa diduga, seorang anggota rombongan yang bertugas sebagai pasukan paling belakang, Shafwan bin Mu’athal as-Sulami adz-Dzakwani namanya. Ia melihat ada orang yang tertinggal, maka bergegaslah ia menemui orang tersebut. Shafwan sungguh terkejut saat mengetahui bahwa yang tertinggal ialah Ummul mukminin, Aisyah radiallahuanha. Ia pun mengucapkan Innalillahi wa inna ilaihi rodjiun, lantas memeberikan tunggangannya kepada Aisyah. Shafwan menuntun unta yang ditunggangi Siti Aisyah. Hingga akhirnya mereka berdua berhasil menyusul rombonga kaum muslimin yang sedang beristirahat.

Di situlah awal masalah datang. Beberapa orang yang melihat kehadiran mereka berdua, memunculkan desas-desus terhadap hubungan keduanya. Muncul sebuah fitnah terhadap Siti Aisyah radiallahuanha. Mereka menyangka bahwa Aisyah radiallahuanha telah selingkuh dan berbuat zina dengan Shafwan. Karena sebab itu pula, setelahnya Rasulullah menunjukkan sikap yang berbeda terhadap Aisyah. Hingga Allah menurunkan wahyunya dalam surah An-Nur ayat 23.
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunai dan di akhirat, dan mereka akan mendapatkan azab yang besar.”

Setelah membaca arti dari ayat Al-Qur’an tersebut, saya sungguh kagum dengan Bunda Aisyah, ketika mendapatkan ujian berupa fitnah yang kejam, yang membelanya ternyata bukan dari manusia biasa, namun pembelaannya datang dari Allah langsung. Subhanallah.
Setelah bercerita panjang lebar, ustadz muda itu bertanya kepada istrinya.

“Duhai istriku, jikalau dirimu dalam posisi Aisyah radiallahuanha, apakah kamu akan melakukan hal yang orang-orang itu sangkakan kepada beliau?”

Istrinya menjawab. “Maksudnya berselingkuh dengan Shafwan, begitu duhai suamiku?” Suaminya mengangguk.

Istrinya kembali menjawab. “Tentu saja tidak. Mana mungkin aku berselingkuh, padahal aku sendiri tahu apa yang telah Allah perbolehkan dan mana yang tidak Ia perbolehkan terhadapku. Terlebih suamiku, ialah Rasulullah yang agung.” Demi mendengar jawaban istrinya, ustadz muda itu tersenyum.

“Maka, istriku, jika kamu saja bilang demikian, tidak mungkin berselingkuh jika dalam posisi Ummul mukminin Aisyah, apalagi beliau. Sebab, kita sama-sama tahu, bahwa Asiyah radiallahuanhu tentu jauh lebih shalihah dibanding engkau, bukan?”
 Istrinya mengangguk.

“Lalu..” Ustadz itu melanjutkan pembicaraannya. “Jika seseorang bertanya padaku, dengan pertanyaan serupa yang aku lontarkan kepadamu barusan. Duhai, bagaimana jika kamu dalam posisi Shafwan saat menemukan Aisyah seorang diri tertinggal dari rombongan? Apakah kamu akan menzinahinya?”

“Maka dengan tegas aku juga akan menjawab seperti apa yang barusan kamu jawab, wahai istriku. Mana mungkin aku berbuat sesuatu yang Allah telah melarangnya.”

“Jawabanku yang orang biasa saja seperti itu, lalu bagaimana dengan Shafwan yang tentu keshalihannya jauh melebihi keshalihanku?”

Istrinya kembali mengangguk. Pasangan suami-istri tersebut tersenyum, mereka tengah mengambil hikmah dari kisah Aisyah, hikmah dalam konteks yang berbeda dalam cerita shiroh di atas. Bahwa akar dari baik sangka kita terhadap sesama muslim, bahwasanya adalah baik sangka kita terhadap diri kita sendiri. Begitu kalimat penutup sang ustadz. Hikmah yang indah. Indah sekali.

Jadi, kembali ke judul postingan ini (maksa banget sih), Aisyah difitnah, tak perlu dibela! Kita mah tugasnya berbaik sangka aja, kan udah ada Allah yang membela. Lagian gimana mau bela, kitanya juga belum ada pada masa tersebut. hehehe... piss
***

Ah, tuh kan, Bungsu. Ceritamu sungguh membuat teteh lebih mengerti tentang pentingnya berbaik sangka, sekaligus mupeng dengan pasangan suami-istri yang bisa berbagi kisah penuh hikmah berdua, berdua saja. Hehehe... #gagalFokus :P #abaikan #plakkk XD

Wallahualam.

*Re-post
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Hari ini saya membongkar file-file dan beberapa buku yang tertumpuk dalam lemari di ruang guru. Saya menemukan beberapa catatan berisi notulen rapat di tahun awal sekolah tempat saya mengajar ini berdiri. Arsip catatan tersebut bisa disebut sebagai peninggalan sejarah atau sumber sejarah.

Pengertian Sumber Sejarah

Sumber sejarah adalah peninggalan-peninggalan masa lampau yang digunakan sebagai bahan guna menyusun sejarah. Dari peninggalan-peninggalan sejarah tersebut, kita bisa megetahui masa lalu yang telah terjadi dan tak bisa diulang.

Macam-Macam Sumber Sejarah

Sumber sejarah bisa dibedakan menjadi tiga. Yang pertama adalah sumber benda. Sumber benda adalah sumber yang diperoleh dari benda-benda peninggalan sejarah, contohnya uang logam, kapak persegi, kapak lonjong, candi, arca, dan sebagainya.
Yang kedua adalah sumber tertulis, yaitu sumber yang didapatkan dari sumber-sumber tertulis. Misalnya prasasti, piagam, dokumen, koran, dan lain sebagainya.
Yang terakhir adalah sumber lisan. Sumber lisan merupakan sumber sejarah yang diperoleh langsung dari pelaku sejarah atau saksi sejarah. Sumber lisan dibedakan menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
Sumber Primer dan Sumber Sekunder 
Sumber Primer adalah sumber yang diperoleh langsung dari pelaku sejarah, yaitu tokoh sejarah yang pada saat kejadian dia ada di tempat sejarah tersebut berlangsung. Sedangkan sumber sekunder adalah sumber yang diperoleh dari saksi-saksi dalam peristiwa sejarah, seperti seseorang yang tahu peristiwa tersebut karena menonton tv, membaca koran atau diceritakan oleh pelaku sejarah.
Arsip notulen rapat yang saya temukan di lemari ruang guru tersebut berarti termasuk ke dalam sumber sejarah tertulis, karena fisiknya berbentuk tulisan atau catatan-catatan.
Ref: Rukoyah, Engkoy. Ilmu Pengetahuan Sosial Dasar. CV Arya Duta, Deok, 2008

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pencarian Sekolah di Dalam Hutan

Siang itu, seusai menggelar aksi penggalangan dana untuk pembangunan masjid Tolikara, Papua, saya dan seorang sahabat meluncur ke tempat tujuan kami selanjutnya. Kami akan mencari ‘sekolah di dalam hutan’. Sebuah pencarian yang sempat gagal pada perjalanan saya sebelumnya dengan dua orang sahabat yang lain. Saat itu kami tengah mencari lokasi untuk event kegiatan sosial di bidang pendidikan. Namun karena medannya sulit dan kondisi kami pada saat itu cukup kelelahan, maka kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan, dan ‘sekolah di dalam hutan’ hanya menjadi sebuah cerita dari mulut ke mulut yang tak mampu kami buktikan benar keberadaanya.

Sahabat saya, Teh Ika, selalu antusias ketika menyimak cerita perjalanan kami pada saat itu. Hingga saya dan dia merencanakan sesuatu, bertekad untuk mencari sampai ketemu ‘sekolah di dalam hutan’, sebuah sekolah marginal, yang katanya, akses masuk ke desa tempat sekolah tersebut berada  harus melewati hutan belasan kilometer.

Seusai shalat dzuhur di salah satu masjid di daerah Klari, saya dan Teh Ika berboncengan menggunakan matic menuju lokasi yang kami tuju. Pada saat itu masih suasana lebaran, arus balik masih belum terlihat di jalan utama Karawang-Cikampek. Beberapa belokan jalan pun masih ditutup. Kami berbelok di pertigaan Walahar menuju Kecamatan Ciampel, menyusuri sungai yang di tepiannya terdapat banyak tanaman eceng gondok. Sepanjang perjalanan kami mengobrol, tentang banyak hal. Sebuah kebiasaan yang hampir selalu menghiasi perjalanan kami berdua.

Saya mencoba mengerahkan ingatan empat bulan yang lalu ketika mencoba mencari lokasi tersebut. Tiba di persimpangan jalan, saya bingung, sebab tempat itu terlihat berbeda dari terakhir saya melewatinya. Ada aktifitas pembukaan lahan, entah untuk kepentingan apa. Akhirnya, kami bertanya pada beberapa anak muda yang tengah nongkrong di situ. Tak lama setelah mengikuti petunjuk yang diberikan, akhirnya sekolah dasar Mulya Sejati berhasil dilewati, itu artinya kami berdua berada di jalan yang tepat.

Beberapa puluh menit kemudian, jalan yang kami lewati hanya berupa pepohonan dengan jalan kerikil yang cukup membuat laju kendaraan kami melambat. Untuk meyakinkan diri, akhirnya kami memutuskan untuk bertanya pada seorang ibu penjaga warung. Ibu itu memberikan pernyataan, kalau sekolah di dalam hutan itu memang benar adanya. Kami diarahkan untuk lurus saja mengikuti jalan utama dan jangan pernah berbelok ke arah kanan. Ah, saya lupa bagaimana arahan ibu tersebut tepatnya. Kami melanjutkan perjalanan dengan medan yang semakin sulit, bebatuannya semakin susah untuk dilalui, terlebih untuk yang tidak terbiasa melewatinya.

Kami behenti di persimpangan jalan, pada saat itu pemandangan kanan-kiri kami sudah berbentuk hutan. Dua arah yang berbeda di depan mata membuat kami memutuskan menunggu orang untuk dimintai informasi. Seorang bapak dengan sepedah motornya melintas di depan kami. Akhirnya ada yang bisa ditanya. Kebetulan bapak tersebut menuju lokasi yang sama dengan yang kami tuju. Kami mengikuti bapak tersebut dari belakang.

Angin segar seolah membelai tubuh kami yang kegerahan siang itu. Sebuah portal memberitahukan bahwa kami telah memasuki pemukiman warga. Betul saja, terlihat pemukiman yang tidak terlalu luas, saya taksir mungkin hanya ada belasan rumah di pemukiman tersebut. Tiba di depan warung kami kembali bertanya tentang sekolah dasar yang dituju. Lurus, lokasinya tak berapa jauh setelah jembatan, kata salah satu bapak menjelaskan. Saya dan Teh Ika semakin bersemangat.

Kami Menemukannya
Sesampainya di ujung pemukiman. Saya  terperangah dan berkali-kali mencoba meyakinkan diri bertanya pada Teh Ika. “Teh, kita ada di mana sih?” sejauh mata memandang, bangunan-bangunan megah berdiri, saya yakin itu adalah sebuah kawasan industri. Saya seakan buta arah, tak tahu mana barat mana timur. Benar-benar tak faham rute yang telah kita lewati sebelumnya dari arah mana ke bagian bumi sebelah mana. “Ujung dunia?” jawab Teh Ika. “Jangan-jangan kita di belakang kawasan KIIC.” Kata saya lagi, yakin tak yakin. Sementara sebuah bangunan sekolah yang merupakan tujuan utama kami siang itu sempat terabaikan.

Teh Ika memarkirkan motor di area parkir sekolah. Saya duluan menuju lapangan sekolah. Memerhatikan pintu-pintu, jendela-jendela, atap, tiang bendera, dan ah...ada hal yang menarik di situ. Dua buah spanduk terbentang di depan sekolah. Spanduk yang menjelaskan bahwa sekolah tersebut bermitra dengan puluhan perusahaan yang namanya tertulis di sana. Saya dan Teh Ika baru sadar, kalau kawasan industri di depan mata kami barusan adalah sebuah kawasan industri Surya Cipta. Salah satu kawasan idustri terbesar di Karawang.
Kawasan industri dan SD di dalm hutan
Kami berdua duduk di depan sekolah tersebut. Saya menarik nafas panjang. Kami berdua saling melempar senyum dan merasa takjub dengan perjalanan kami hari ini. Sekolah di dalam hutan, sebuah sekolah yang selama empat bulan membuat saya dan Teh Ika penasaran, kondisinya ternyata di luar bayangan kami sebelumnya. Di hadapan kami berdiri sebuah bangunan yang sangat amat layak disebut sebagai sekolah. Jauh dari kesan marginal dan tertinggal.
Spanduk Perusahaan Mitra Sekolah


gerbang kawasan Surya Cipta. Sekolah dalam hutan hanya 10 menit dari pintu gerbang kawasan. Bila melewati hutan dan perkampungan, waktu yang ditempuh mencapai satu jam lebih.

Ini adalah bukti bahwa tempat dulu kami melaksanakan event #SejutaPensilWarna 8 Maret 2015 lalu di SDN Makmur Jaya 3, sebuah sekolah yang puluhan siswanya terpaksa belajar di teras karena kekurangan ruang kelas, ialah sebaik-baiknya tempat yang Allah pilihkan. Bila dibandingkan dengan sekolah lain yang kami survey sebelum event, pun ‘sekolah di dalam hutan’ yang hari itu kami datangi ternyata jauh lebih layak.

Saya sadar. Pilihan Allah selalu tepat. Kali itu Dia menunjukkan bukti, bahwa pilihan-Nya tak keliru. Tak ada yang salah sedikitpun. Tak pernah.
Seketika, saya teringat pada satu kejadian. Di mana saya dan Fredy Setiawan, salah satu penggerak awal AB Karawang, bertengkar hebat. Saya bilang padanya:

“Saya berhenti jadi sekertaris AB. Berhenti! Anggap saja dulu, kamu merekrut orang yang salah!” 

Pesan whatsapp itu saya kirim dengan penuh emosi dan sakit hati..
Hingga akhirnya, Allah, memberitahu saya dengan cara-Nya yang indah, bahwa tak ada sesuatupun yang salah dengan pilihan-Nya. Tak ada! Termasuk saya, kamu, dia, yang kini menjadi KITA. Meski saya tak pernah tahu, sampai kapan...


September, 2015
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

Kontak Penulis

Facebook: Lina Astuti
Instagram: @linaastuti_
Twitter: @naku_ast27
Email: linaastuti27@gmail.com

Member dari

Member dari


Teman-teman

Postingan Terakhir

Postingan Populer

  • Perawatan Wajah di Farina Beauty Clinic
    Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu saya pergi ke klinik kecantikan. Niat awalnya hanya untuk facial, karena merasa komedo sudah terlalu...
  • Tips Menjemur Pakaian Dalam
    Bagi semua orang celana dalam (CD) dan bra (khusus bagi wanita) merupakan barang paling pribadi. Ada yang bilang bahwa dua benda tersebut m...
  • Dalam Sakit, Larik Puisi Sapardi Djoko Damono
    Bagi pecinta puisi, siapa yang tak kenal dengan Sapardi Djoko Damono (SSD)? Sastrawan yang terkenal dengan puisi-puisinya yang beraliran pu...
  • Sambal Tempe Ayam Suwir SO GOOD, Variasi Menu Piring Gizi Seimbang
    Para emak pasti setuju kalau aktifitas masak-memasak itu menguras empat hal ini: waktu, tenaga, materi, dan pikiran. Saya pribadi sebagai ...
  • Cara Mudah Mengingat Urutan Satuan Jarak
    Tidak sedikit anak-anak yang kurang menyukai pelajaran Matematika. Pelajaran tersebut dianggap sulit karena berhubungan dengan hitung-mengh...
  • Solusi Pegal-pegal untuk Pekerja Kantoran
    Gambar: karimuslim.com Seorang pekerja kantoran biasanya dapat menghabiskan waktu dalam kurun waktu yang sangat panjang dalam sehari d...
  • Genset: Alat Penting untuk Kebutuhan yang Genting
    Zaman sekarang ini siapa sih yang tidak membutuhkan tenaga listrik? Apalagi hidup di kota besar seperti Jakarta. Mulai dari kebutuhan prib...
  • Cerita Dalam Filosofi Hujan
    Oleh: Lina Astuti Judul Buku: Jika Hujan Pernah Bertanya Penulis: Robin BIE Wijaya Cetakan: I, Agustus 2011 Penerbit: Leutik...
  • Resensi Novel Rengganis Altitude 3088
    Rengganis, Novel  Tentang Pendakian Judul Buku: Rengganis Altitude 3088 Penulis: Azzura Dayana Penerbit: Indiva Media Kreasi Tahun Ter...
  • Pengalaman Mengatasi Biang Keringat pada Bayi
    Dulu sebelum punya anak, saya menganggap biang keringat merupakan sakit remeh-temeh dan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Terleb...

Arsip Blog

  • ►  2020 (10)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Juni 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
    • ►  Januari 2020 (3)
  • ►  2019 (27)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (4)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (4)
    • ►  Juli 2019 (4)
    • ►  Juni 2019 (3)
    • ►  Mei 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (3)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (29)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (2)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (3)
    • ►  Juli 2018 (3)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (4)
    • ►  Maret 2018 (4)
    • ►  Februari 2018 (4)
    • ►  Januari 2018 (3)
  • ►  2017 (31)
    • ►  Desember 2017 (3)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (2)
    • ►  Juli 2017 (3)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  April 2017 (4)
    • ►  Maret 2017 (5)
    • ►  Februari 2017 (1)
    • ►  Januari 2017 (5)
  • ►  2016 (22)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (3)
    • ►  Oktober 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (3)
    • ►  April 2016 (2)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (4)
    • ►  Januari 2016 (2)
  • ▼  2015 (52)
    • ▼  November 2015 (1)
      • [Puisi] Matahari Kepada Angin
    • ►  Oktober 2015 (6)
      • Tentang Sebuah Pinta
      • Memiliki dan Kehilangan
      • Main Air di Pantai Samudera Baru
      • Hijau Rumput
      • Kehangatan Puncak Dua Guntur, Tragedi di Puncak, d...
      • Resensi Sayap-sayap Sakinah
    • ►  September 2015 (11)
      • Karawang Creative Night, Sebuah Persembahan dan Ap...
      • Resensi Gundam Attack!
      • Berkaca, Sebuah Muhasabah Diri
      • Sepuluh Muwasofat Tarbiyah
      • Belajar Syukur Dari Seorang Anak
      • My Wishlist
      • Review Novel Bukan Cinderella: Kadang Cinta Tak Bi...
      • Resensi Novel Rengganis Altitude 3088
      • Aisyah binti Abu Bakar Difitnah, Tak Perlu Dibela
      • Menemukan Sumber Sejarah
      • Sekolah di Dalam Hutan
    • ►  Agustus 2015 (11)
    • ►  Juli 2015 (5)
    • ►  Juni 2015 (5)
    • ►  Mei 2015 (1)
    • ►  April 2015 (6)
    • ►  Maret 2015 (4)
    • ►  Februari 2015 (2)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember 2014 (2)
    • ►  Januari 2014 (1)
  • ►  2013 (6)
    • ►  Desember 2013 (5)
    • ►  Maret 2013 (1)
  • ►  2012 (15)
    • ►  Oktober 2012 (1)
    • ►  Mei 2012 (1)
    • ►  Maret 2012 (2)
    • ►  Februari 2012 (2)
    • ►  Januari 2012 (9)
  • ►  2011 (6)
    • ►  Desember 2011 (2)
    • ►  November 2011 (4)
Created with by ThemeXpose