• HOME
  • CATATAN PERJALANAN
  • ULASAN BUKU
  • CERITA IBU
  • DIY/HANDYCRAFT

Blogger Rumahan

Menulis; berbagi ide dan cerita dari rumah

Buat kakak dan istrinya 

Kadang adikmu yang bandel ini menyesal sejadi-jadinya. Kenapa dulu tak mengambil tawaran baik (hingga akhirnya tahu bahwa itu bukan sebaik-baiknya tawaran. Hohoho labil mode on). Tapi aku masih memegang mimpi, aku namai dia dengan ‘Egyp yang lain’. Dengan pencapaian puncak piramid yang lain.
Seperti halnya kalian yang bertahan di antara belenggu di negeri orang. Aku harus lebih kuat menghadapi semuanya, dengan segala kegalauan yang bahkan hanya remeh temeh dunia dan kita sepakat menertawakannya, karena perihal ini adalah konyol. Sekonyol-konyolnya alasan yag membuat seorang Lina galau.
Seperti dugaan baik kalian. Aku tak akan mundur, meski dengan cara dan jalan yang lain. Berkarya dalam diam mungkin lebih baik. Meski suatu saat akan merindukan jamaah kebaikan. Merindukan mimpi-mimpi yang kubangun dengan susah payah ini. Aku akan berusaha menerima. Karena tugasku hanya taat, kan? Demi mimpi yang lebih tinggi, menjadi seorang yang dicemburui bidadari di syurga.
Namun asal kalian tahu, jika boleh memilih. Aku ingin dengan yang bisa membersamai langkah dalam jamaah kebaikan. Yang mengikhlaskan hati dan jalan hidupnya demi kebaikan. Tapi lagi-lagi, aku hanya perlu menjadi patuh. Itu saja :)

Oia, ini surat ke-27 :) angka spesial buatku.
Terakhir, sesekali cek email kakak. Aku kirim beberapa file artikel hasil tulisan selama 2015. Tak 
banyak memang, tapi klipingan koran dan upah tinta yang barangkali tak seberapa itu, kadang buat adikmu sedikit boleh berbangga, sekaligus sebagai tanda pengabdiannya terhadap ilmu pengetahuan yang terseok-seok ia cintai (duh cinta lagi). Ini tahun terproduktif sepanjang sejarah (belajar) kepenulisan. Meski harus menanggung perihnya omelan editor-editor kece itu :D
Salam untuk salah satu tanah yang aku rindukan.
Salam peluk dan cium mba sayang.
Salam takzim buat kakak ganteng sedunia :P
Aku yang (tidak) didera rindu (lagi) :D *soalnya udah tau Obat Rindu

Agustus 2015
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Sebuah pesan WA masuk di ponselku, “Tak ada cahaya yang mampu remuk, Nut,” .

Kamu memulai obrolan dengan berfilosofi.

“Namun, ada cahaya yang tak mampu memberi sinar,” katamu lagi. Aku mulai mengerutkan dahi.

Kamu ya seringnya begitu. Datang tanpa salam atau tanya kabar terlebih dahulu. Tanpa basa-basi melemparkan kalimat-kalimat aneh, yang seolah-olah kamu tahu sesuatu yang ada dalam fikiranku.

“Cahaya, sinar, maksudnya?” balasku.

“Mudah saja,” lagamu menggampangkan. Padahal aku bekerja keras untuk mencerna kata-kata ‘ajaib’ yang kamu lontarkan.

“Oia, gimana sekolah baru tempatmu ngajar sekarang?” tanpa merasa bersalah telah membuatku penasaran, kamu malah mengganti pembicaraan.

“Ah buodoooo amatan, gue kagak mau jawab.” Aku keki. Mematikan data internet, tak memedulikan kamu.

Tak peduli, tapi nyatanya kalimat itu masih menggantung di ubun-ubun, melayang-layang dengan tanda tanya besar. “Tak ada cahaya yang mampu remuk? Namun ada cahaya yang tak mampu memberi sinar?”

Ah, yasudahlah.

Saatnya berangkat sekolaaaaaah!!
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pagi ini tiba-tiba terlintas untuk menuliskan sesuatu tentang pendidikan anak dan peran orang tua di dalamnya. Jangan berharap tulisannya bakal seperti artikel parenting yang menjabarkan secara panjang kali lebar. Sedikit saja, karena tulisan ini pada dasarnya timbul karena kegelisahan saya sebagai seorang guru, seorang wanita, sekaligus seorang calon orang tua.

Percaya atau tidak, suatu hari, pagi-pagi buta sekali, sekitar pukul tiga dini hari seorang ayah mengantarkan anaknya ke sekolah. What? Jam tiga pagi? Gak salah tuh? Gak salah, ini bener kejadian di sekolah tempat saya ngajar. Pagi-pagi buta, anak laki-laki yang masih kelas enam SD itu dibangunkan, setelah mandi dan membawa tas sekolah, ayahnya mengantarkannya ke sekolah. Sesampainya di sekolah, dengan mata yang masih terkantuk-kantuk anak tersebut mengecek beberapa sudut sekolah. Barangkali ada ustadz atau ustadzah yang memang bermukim di situ yang sudah bangun. Karena hasilnya nihil, akhirnya ia memutuskan melanjutkan tidurnya yang terganggu di masjid sekolah. Seorang diri hingga kumandang adzan subuh.

Pagi harinya ketika mendengar cerita dari si anak soal keberangkatannya ke sekolah yang masih pagi-pagi buta tersebut, konyol! Pikir saya. Apa perlu anak itu diberikan penghargaan siswa terajin? Atau orang tuanya yang (harus) diberi piala karena mengantarkan anaknya sepagi itu? Ah, tiba-tiba saya bertekad untuk menjadi ibu yang baik (kelak). Berusaha menjadi orang tua yang sebaik-baiknya. Ups..

Tidak serta-merta menyalahkan orang tua tersebut, saya tanya alasannya kenapa ia diantarkan sepagi itu kepada si anak. Papah mau ke Bandung urusan kerjaan, jelasnya. Saking tidak adanya sanak saudara yang bisa dititipkan, akhirnya sekolah menjadi pilihan. Ibunya? Alasan klise, tentang drama rumah tangga yang suami-istrinya sibuk mencari uang.

Bukan kali itu saja si anak ‘dititipkan’ di sekolah. Beberapa kesempatan pun, pihak sekolah seakan menjadi korban penitipan anak bagi orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya. Selain kasus anak tadi, ada juga anak yang baru dijemput menjelang shalat isya. Bayangkan betapa bosannya si anak seharian lebih di sekolah. Duh..
Belakangan, seiring makin menjamurnya sekolah-sekolah swasta yang jam belajarnya dikenal dengan istilah fullday school, masuk dan pulang sama seperti jamnya orang kantoran. Seakan menjadi salah satu alternatif bagi orang tua yang sibuk bekerja. Imbasnya, bukan hal yang tak mungkin jika anak-anak merasa haus kasih sayang orang tuanya. Bisa saja dia mendapatkan kasih sayang layaknya orang tua sendiri dari guru-gurunya di sekolah, tapi tentu hal tersebut amatlah berbeda. Jelas berbeda!

Hft... Sebagai calon orang tua, saya harus banyak belajar..


“Maka, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak-anak itu menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. 
Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. 
Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur mereka, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. 
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan, dan kasih sayang. 
Betapa banyak orangtua yang merasa telah memberi bekal terbaik dengan memasukkan anak-anak di sekolah unggulan. Padahal, yang sesungguhnya terjadi, anak-anak itu sedang dilemahkan jiwanya karena tak pernah menghadapi tantangan, dukungan, dorongan, dan apresiasi yang seimbang. Ibarat ayam, mereka menjadi ayam potong yang mudah patah oleh angin berembus.” (Mohammad Fauzil Adhim)
Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
(Hujan Bulan Juni: Sapardi Djoko Damono)
Hm... pertama kali membaca puisi di atas, yang merupakan karya jagoan dari penulis yang memiliki aliran puisi puitis-romanitic—Sapardi Djoko Damono, seakan mewakili diri saya yang amat sangat sulit meningkahi  perasaan, bahkan hanya untuk meng-eja ‘rasa’ tersebut. #eeeaaaaa :P

Jadi, ceritanya bermula dari seorang teman facebook yang merupakan salah satu penikmat puisi-puisi Mbah Sapardi, menyapa saya pada statusnya di dunia maya. Hujan Bulan Juni mau di-novelkan, ujarnya. Benar saja. Tepat di bulan Juni 2015, novel tersebut diluncurkan ke pasar. Dan saya salah satu orang yang antusias untuk memilikinya. Singkat cerita satu bulan kemudian novel tersebut berhasil saya miliki. Saat itu sebetulnya saya tidak sengaja meluangkan waktu ke toko buku, kalau bukan karena tugas dosen yang mengharuskan saya membeli buku grammer pocket oxpord, buku ukuran mini yang harganya selangit. Di antara tumpukan buku di Gramedia Cijantunglah, saya menemukan satu buku yang covernya sungguh membuat saya...

Sampai hari ini, berarti sudah satu bulan saya memiliki novel Hujan Bulan Juni, namun saya belum juga merampungkan bacaannya. Bahkan, saya baru sekedar membolak-balik cover, beberapa halaman pertama, juga beberapa halaman terakhir dari buku tersebut. Bukan tanpa sebab, namun karena buku ini menempati antrian kesekian dari daftar buku yang harus saya baca, menemani judul-judul buku lainnya yang kadang saya baca secara rendem dari buku satu ke buku yang lain. Diantara buku-buku tersebut diantaranya adalah Api tauhid – Kang Abik, Rindu-nya Tere Liye, Akik dan Penghimpun Senja – Afifah Afra, dan beberapa buku anak yang akan saya resensi terlebih dahulu sebelum diturunkan ke taman baca KM.2 FLP Karawang, belum lagi beberapa buku tema sejarah dan pendidikan yang merupakan bahan kuliah.

Novel Hujan Bulan Juni memang belum saya rampungkan. Tapi percaya atau tidak, sesekali dikala jenuh dengan bacaan saya kala itu, saya akan mengambil buku ini. Bukan untuk dibaca. Tapi saya hanya perlu memerhatikan covernya saja, bagian depan dan belakangnya. Menyimak perpaduan warnanya, jenis huruf pada judul serta nama penulisnya, pun saya akan menyimak beberapa baris tulisan yang membentuk sebuah payung di bagian belakang cover buku tersebut. Bagi saya (yang bahkan belum merampungkan novel ini), judul buku di cover-nya terlihat sangat puitis. Entah jenis huruf apa yang digunakan, dengan efek tulisan luntur terkena tetesan air, sekali lagi saya bilang; sungguh puitis. Dengan melihat cover buku tersebut, seolah-olah saya sedang membaca beberapa bait puisi, dan saya berhasil menghayati puisi tersebut. Tanpa peduli, kapan akan megelarkan buku tersebut.

Ah..
Begitulah saya.

kita tak akan pernah bertemu

aku dalam dirimu
tiadakah pilihan
selain di situ?
kau terpencil dalam diriku 
(salah satu dari Tiga Sajak Kecil, hal:133)

Cover depan Novel Hujan Bulan Juni, "The Puitic Cover"

Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Hari ini saya masih begitu tertatih menuju majlis ilmu. Mengulur waktu ke tempat liqo untuk mampir ke Karang Pawitan terlebih dahulu. Untuk sekedar mengurai rasa rindu kepada tempat itu dan beberapa sahabat yang bisa saya temui di sana. Andai sebelumnya saya tahu, langkah saya yang tertatih menuju masjid Al-khoir, kampus UNSIKA tempat saya liqo kali ini akan memberikan sebuah jawaban, sebaik-baiknya jawaban. Serta mengajarkan hal sederhana yang begitu dalam maknanya. Tentang kata ‘rindu’. Bagaimana cara mengobati rasa yang kata Melly Goeslow sungguh menyiksa.

“Belakangan ini, ada satu hal yang sungguh mengganggu hari-hari saya,”

Di sesi sharing, seorang ukhti membuka obrolan.

“Hampir satu minggu ini saya didera rasa rindu yang akut,” begitu ujarnya lagi.

Hm... rindu? Pikiran saya langsung tertuju pada status FB seorang teman tadi pagi. Sebuah kutipan dari buku Tere Liye.

Aku harus menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kerinduan itu muncul. Ya Tuhan, berat sekali melakukannya. Sungguh berat, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik.

Menyibukkan diri. Saya masih merasakan cara tersebutlah yang paling efektif untuk membunuh rasa rindu. Karena ketika kita diam dan lengah, tak melakukan apa-apa, ingatan kita cenderung aktif ke hal-hal yang seperti itu. Rindu, kadang melenakan. Membuat terpuruk. Membuat kita ingin gegas membersamai yang dirindu. Atau malah ingin menebas rindu dengan cara yang lain, lari ke pantai lalu membuang diri ke laut misalnya :D hehe.. Rindu yang keterlaluan. Fuhhh..

“Rindu kepada papa yang sudah meinggal sepuluh tahun yang lalu. Barangkali teman-teman punya solusi mengatasi rasa rindu yang akut tersebut?”

Saya hanya bisa terdiam mendengar kalimatnya yang terakhir. Sementara murrobiah kami membuka kesempatan, barangkali di antara kami berdelapan ada yang punya solusi guna mengatasi si rindu ini.
Hingga seorang di antara kami angkat bicara. Seorang ukhti yang ketika saya lihat wajahnya selalu tampak ceria tersebut memaparkan sedikit kisahnya yang tak jauh beda dengan ukhti yang melempar pertanyaan. Bahkan ia telah ditinggal ayahnya semenjak umur dua tahun.

Rasa rindu itu pasti ada. Pungkasnya pada kami. Terlebih ketika melihat anak-anak lain yang diantar papanya. Cemburu, pasti. Tapi hal tersebut menguatkan keyakinan bahwa sesungguhnya kita akan kembali sendiri. Mungkin sekarang tanpa ayah, besok barangkali ibu atau orang terkasih lainnya. Dan ketika mereka semua tiada, ternyata masih ada Allah, bukan?

Saya mengiyakan dalam hati. Bukankah Rasulullah pun lahir dalam kondisi yatim. Serta-merta saya kembali menyimak dengan tahzim kalimat demi kalimat yang diucapkan ukhti tersebut.
Teringat sebuah paparan dari buku yang saya baca. Ukhti tersebut melanjutkan ceritanya. Buku tersebut  ditulis oleh anaknya Buya Hamka, kalau tidak salah judul bukunya ‘Ayah’. Di situ diceritakan bahwa Ayahnya—Buya Hamka, amat sangat mencintai istrinya. Ketika istrinya mendahului beliau ke rahmatullah, barang tentu ayahnya sangat merasa kehilangan dan merindukannya. Kalian tahu apa yang dilakukan Buya Hamka jika malam menjelang dan rindu kepada istrinya yang sudah tiada tersebut kian menggebu?

Saya menggeleng. Membetulkan posisi duduk. Saya hampir selalu tertarik dengan pemaparan kisah orang-orang yang menyejarah. Tentu karena mereka adalah orang hebat pilihan yang istimewa.

Dua hal yang dilakukan oleh Buya Hamka bila rindu menyergap di malam-malam gelap namun tak mampu menutup rasa kehilangan. Pertama, ia membaca Al-Qur’an sebanyak-banyaknya. Bisa sepanjang malam, sampai rasa rindu itu sirna. Kenapa? Karena berdasarkan sifatnya, bahwa Al-qur’an adalah Assyifa yang artinya obat. Maka, jika rindu itu menjelma belenggu yang membuatnya sakit, Al-Qur’an adalah satu-satunya yang ia jadikan sebagai obat paling mujarab.
Saya tertegun. Menelan ludah. Jleb!!! Hei, selama ini apa yang saya lakukan guna mengobati rindu?

Yang kedua, Buya Hamka melakukan shalat taubat dua rakaat. Sebab ia tahu, bahwa rasa rindu tersebut merupakan bagian dari rasa cinta kepada istrinya. Namun, bila rindu itu terus menerus menyapa, ia khawatir rasa cinta pada istrinya jauh melebihi rasa cintanya kepada Allah. Itu alasan kedua kenapa Buya Hamka melakukan shalat taubat dua rakaat ketika rindu.

Saya terpaku mendengar penuturan ukhti tersebut. Ukhti yang bertanya pun terlihat puas dengan jawabannya.

Ah, ternyata obat rindu itu...

*ditulis berdasarkan diskusi liqo tadi siang, dengan redaksi sedikit berbeda
**Spesial untuk seorang sahabat dan sesiapa yang tengah ‘sakit’ karena rindu (termasuk diri)
***Jazzakillah khoir untuk saudariku nan shalihah, yang telah membersamai duduk gusar saya di majlis ilmu


Share
Tweet
Pin
Share
18 komentar
Sebetulnya tutorial ini pernah saya posting di blog. Tapi karena satu insiden yang menyebabkan postingannya hilang, akhirnya kali ini akan saya re-post. Tutorial sederhana ini ditujukan buat new crafter karena emang simple banget. Bisa dijadikan bros atau aplikasi lainnya. Semoga gambarnya mudah dimengerti ya... Kalau ada hal yang ditanyakan silahkan tinggalkan komentar :)

Happy Crafting!

Mawar Spiral, Dokpri



Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Judul Buku: Bulan Nararya
Penulis: Sinta Yudisia
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Cetakan pertama, September 2014
Jumlah Halaman: 256 hlm
ISBN: 978-602-1614-33-4
Harga: Rp 46.000,-


Bulan Nararya merupakan novel psikologi bergizi yang ditulis dengan perenungan yang matang dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh penulisnya, yaitu Sinta Yudisia, yang tengah menyelesaikan pendidikan magister Psikologi Profesi di Universitas 17 Agustus 1945. Kehadiran novel ini, di tengah-tengah masyarakat pembaca buku Indonesia seolah memberikan satu warna yang berbeda, memberikan corak lain pada dunia pernovelan yang belakangan ini didominasi oleh tema cinta, humor, dan fantasi.

Dengan diterbitkannya novel yang merupakan juara tiga kompetisi menulis yang diadakan oleh Kementrian Pariwisata dan Kementrian Ekonomi Kreatif RI ini, kembali menegaskan, bahwa Indiva Media Kreasi, merupakan penerbit yang memiliki karakter yang khas pada novel-novel yang diterbitkannya. Kekhasannya terletak pada tema yang berbeda, idealisme, serta kedalaman cerita yang menyuratkan ketekunan penulis dalam menuliskan kembali ilmunya, menyampaikannya pada khalayak pembaca. Sebut saja novel-novel lainnya seperti Tetralogi De Wints, Tarrapuchino, Rengganis, Pasukan Matahari, dan beberapa novel terbitan Indiva lainnya yang bisa dibilang sebagai naskah ‘jagoan’ dari masing-masing penulisnya.
***

“Aku pernah punya suami normal, karir kami masing-masing normal, tapi kehidupan kami nggak normal. Aku punya teman-teman yang normal, tapi hidup mereka juga nggak normal. Banyak pernikahan berisi sepasang manusia yang normal, tapi keseharian mereka abnormal. Saling melukai, tak membangun komunikasi, tak mencoba mencintai,”
“di klinik, klien kami orang-orang abnormal. Tapi kehidupan mereka melampaui normal, bukan hanya karena efek obat. Tapi di antara kami timbul perasaan saling menerima.” (Hal:55).

Nararya Tunggadewi adalah seorang terapis yang bekerja di klinik mental health center. Sebuah pusat rehabilitasi, salah satunya bagi penderita gangguan kejiwaan semacam skizophrenia, orang-orang dengan gangguan struktur otak dan berbagai tekanan luar biasa dalam hidup yang menyebabkan mereka kehilangan kemampuan berfikir normal, berilusi, dan halusinasi yang menyebabkan pederitanya tidak bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan.

Beberapa kali Rara—panggilan tokoh Nararya, mengusulkan Transpersonal, cara baru untuk melakukan terapi secara psikologis yang menekankan pada pendekatan personal oleh orang-orang terdekatnya, untuk kemudian menghentikan pengobatan secara farmakologi atau menggunakan obat-obatan yang bisa menimbulkan efek ketagihan. Namun Bu Sausan, selaku kepala mental health center menolak mentah-mentah ide tersebut. Karena menurutnya, Transpersonal merupakan tingkat terbawah pilihan terapi. Ditambah lagi penelitian yang dilakukan Rara soal itu masih sangat mentah.

Beberapa pasien yang ditangani Rara memiliki latar belakang dan penyebab gangguan kejiwaan yang berbeda-beda. Sania, seorang gadis kecil yang ditemukan oleh dinas sosial di terminal dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Ia dibesarkan oleh nenek miskin yang ringan tagan, ibu pemarah, dan ayah yang pemabuk. Hal tersebut menjadi latar belakang yang kuat atas depresi yang dialaminya hingga akhirnya ia terdampar di pusat hehabilitasi tersebut. Pasien yang lainnya adalah seorang pria berumur 70-an. Awalnya pria itu ialah penghuni lembaga pemasyarakatan yang ditangkap dengan tuduhan pencurian. Orang-orang menganggapnya gila dan pria itu sering mendongkakkan wajahnya ke langit untuk berlama-lama menatap bulan, oleh karena itu ia dipanggil dengan sebutan Pak Bulan. Sedangkan Yudishtira, laki-laki yang sesekali berbicara dengan lukisan yang digambarnya. Awalnya ia adalah pria biasa dengan kehidupan normal. Memiliki istri dan keluarga yang teramat menyayanginya; ibu, kakak-kakak perempuan. Kemelut rumah tangga dan keluarga membuatnya mengalami depresi hingga akhirnya ia dikirim ke tempat rehabilitasi tersebut. Setidaknya ketiga pasien tersebutlah yang belakangan menyita banyak perhatian dan waktu Rara.

Meski Rara seorang terapis, ia hanya manusia biasa yang tak dapat menghindar dari tekanan masalah-masalah pribadi maupun pekerjaannya. Terlebih ketika hubungan pernikahannya dengan Angga yang sudah berjalan selama sepuluh tahun tidak bisa dipertahankan lagi. Ditambah Moza, seseorang yang selama ini dianggap sebagai sahabat baiknya ternyata rapuh dan berkhianat, membuat Rara hampir membenci Moza. Hingga suatu hari Rara merasa dirinya mengalami gangguan ilusi atau bahkan menderita skizophrenia seperti pasien-pasiennya yang lain. Namun satu hal yang ia yakini, bahwa serakan kelopak mawar yang bercampur darah kecoklatan di lantai depan pintu ruang kerjanya bukanlah ilusi atau halusinasi yang disangkakan oleh Bu Sausan. Ia hanya perlu sedikit bersabar, yakin, dan berusaha mengumpulkan bukti atas kebenaran tersebut. Sebuah misteri yang akhirnya terkuak. Hingga saatnya satu persatu masalah yang mendera Rara, pribadi maupun pekerjaan perlahan tapi pasti kian menemukan titik terang. Pun dengan kehadiran sosok Pak Robin di kehidupan Sania, kemudian sosok Diana, ibu beserta kakak-kakak Yudishtira mewarnai terapi yang melibatkan orang-orang terdekat pasien yang dilakukan oleh Rara.

Konflik yang dibangun Sinta Yudisia di novel ini cukup kompleks, alur bercerita yang mengalir, dan ada beberapa bagian cerita yang membuat pembaca tegang sekaligus penasaran. Tentu saja, pembaca akan menjumpai beberapa istilah psikologi seperti transpersonal, psikoanalis, humanistic, behavioris, dan juga COD yang membuat novel ini kental dengan nuansa ilmiah namun tetap memperlihatkan drama kehidupan yang sesuai dengan realita.

Bulan Nararya merupakan fiksi bergizi yang pantas bersaing dengan novel-novel best seller lainnya. Saya rasa tidak berlebihan jika nama Sinta Yudisia, yang merupakan ketua umum Forum Lingkar Pena (FLP) melalui karya-karyanya, lambat-laun akan mampu disandingkan dengan novelis-novelis nasional yang lainnya seperti Afifah Afra, Dee, Tere Liye atau bahkan Habiburrahman El Shirazy


*Lina Astuti, Seorang pendidik dan Pegiat FLP Karawang
Resensi ini diikutkan dalam Lomba Menulis Resensi Indiva 2015
Share
Tweet
Pin
Share
12 komentar
Pernah gak, merasa kalau hidup kita itu seperti mimpimimpi yang menjadi nyata?
Saya merasakannya.


Dulu saya begitu terpukau membaca Totto Chan-nya Tetsuko Kuronoyagi, dengan sekolah di dalam gerbong kereta dan konsep alam. Menyadarkan saya akan makna belajar tanpa sekat. Belajar tanpa batas. Hingga Allah mengirim saya untuk belajar dan mengajar di sekolah yang dulu hanya ada dalam imajinasi saya. Dengan anak-anak 'nakal' semacam Totto Chan dan teman-temannya yg unik. Dulu saya hanya mampu bermimpi tanpa merencanakan apapun tentang ini. Tapi Allah lebih tahu apa yg saya inginkan. Ternyata...
Foto bareng kelas 3 tahun ajaran 2014-2015

Fawwaz, salah satu anak 'istimewa'
2010, saya pernah menulis fiksi tentang pendidikan dan anak yg keterbelakang mental. Dan 2014-2015, saya diamanati satu orang anak 'istimewa' di sekolah, di antara anak 'normal' lainnya. Yang mengajarkan saya banyak hal, tentang arti penerimaan, syukur, dan sabar. Ketika itu saya sadar, Allah menjadikan nyata segores karya yang saya karang-karang sendiri. Ternyata...

Kelas dua SMA, sepanjang perjalanan pulang sekolah, saya dan sahabat dekat saya bercerita tentang mimpi mengubah senioritas di OSIS dengan sistem yg lebih baik. Saat itu kita hanya dua siswi pendiam yg hanya berani mengumpat senior di belakang. Setahun kemudian, sahabat saya terpilih menjadi ketua OSIS dan saya menjadi wakilnya. Meski tak banyak, setidaknya kami memasukkan idealisme dalam berorganisasi di sekolah. Akhirnya saya mengerti, ketika bermimpi, ternyata Dia selalu mampu menguatkan langkah.
Ya. Ternyata...

Beberapa bulan yg lalu saya hanya bisa mengeluh, duduk sendiri di teras Karang Pawitan sambil memandang beberapa tumpuk buku yang saya tendang-tendang dengan ujung sandal. Mengumpat kawan-kawan yg tak tepat janji dan dengan mudah mengubah rencana yg sudah disepakati bersama. Saya hanya merasa sendiri dan mengiba pada Dia, kirimin saya satu oraaaang saja ya Allah! Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Saya tak hanya diberi satu orang teman, tapi banyak dan mereka datang membantu tanpa diminta. Ternyata...
Lapak Baca KM.2 FLP Karawang with 'Peri Gigi"


Dulu, keluarga saya dicemooh karena miskin tapi tetap ngotot memasukkan anak-anaknya ke sekolah. Dan dengan tegas ibu bilang, selepas SMA saya akan seperti kakak-kakak saya yang lainnya, langsung cari uang. Karena itu, ibu selalu bangga melihat anaknya mengenakkan seragam pabrik.
Hingga suatu hari saya ketahuan telah berstatus sebagai mahasiswi. Ibu yang terakhir tahu akan hal itu. Pun ketika saya resign dari pabrik, ibu yg terakhir tahu dan marah pasti. Tapi ibu yang pertama kali bangga ketika melihat anaknya menjadi guru. Meski tak ada lagi uang yg bisa anaknya sisihkan untuknya setiap bulan.

Setelah semua ini, saya semakin yakin dengan kekuatan mimpi. Saya semakin tahu bahwa tak ada yg tak mungkin jika Ia telah ridho dan berkehendak.

Semakin tahu arti dari kata 'ingin' yg diutarakan seorang sahabat. Bahwa sesuatu yg kita inginkan, benar-benar kita inginkan tsb pasti akan kita dapatkan. Jika tidak kita dapatkan, itu artinya rasa ingin itu tak seberapa.

Selain itu, saya masih percaya bahwa buku dan sahabat-sahabat terbaik mengajarkan lebih banyak hal dari yg kita bayangkan.

Bermimpi (bersamaku)?
Mau kah?


(Adalah bahwa ketika kita jujur pada Allah atas target-target kita, Dia akan menggenapkannya untuk kita. Pasti. Ust. Salim A. Fillah - Barakallahu Laka)


*re-post dari pesan yang saya kirim ke grup whatsapp Aku Berdonasi Karawang
Share
Tweet