• HOME
  • CATATAN PERJALANAN
  • ULASAN BUKU
  • CERITA IBU
  • DIY/HANDYCRAFT

Blogger Rumahan

Menulis; berbagi ide dan cerita dari rumah


BismIllah..

Pada saat seorang anak meminta uang kepada orang tua, hal apa yang pertama kali orang tua itu akan lakukan? Jawabannya adalah bertanya. Ya, "Uang untuk apa, nak?" Begitu kira-kira pertanyaannya.

Begitupun dengan pinta-pinta kita pada Allah. Pada waktu do'a itu dipanjatkan, minta jodoh suami yang shaleh misalnya, seketika, Ia Sang pengabul segala pinta bertanya -- suami yang shaleh itu untuk apa? Namun, kita seakan tak pernah sadar bahwa kita tengah ditanya akan permintaan kita tersebut.

Melalui pertanyaan itu, Allah maha tahu kapan Ia mengabulkan doa. Seperti doanya bapak para Nabi, Ibrahim a.s. Dalam sepenggal doa ia bermunajat pada Allah, meminta agar diberikannya seorang keturunan dari bangsanya sendiri seorang nabi yang bisa menyelamatkan kaumnya. Rentang ribuan tahun jaraknya, doa itu baru Allah kabulkan, lahirlah seorang Rasul penutup para nabi, Rasulullah salallahu alaihi wasallam sebagai pemberi syafaat kaumnya kelak di akhirat, insya Allah.

Patutnya kita jangan pernah lelah memanjatkan doa dan berusaha. Pastikan kita menjadi jiwa yang pantas untuk sesuatu yang pantas pula, di mata Allah tentunya.

Ada yang pernah berujar seperti ini, "Kamu akan mendapatkan sesuatu yang benar-benar kamu harapkan dan sesuatu yang benar-benar kamu butuhkan," 

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan (doa) bagimu.” (QS. Al-Mukmin/Ghaafir: 60). 

wallahualam.

*Re-post oleh-oleh dari Ust.Salim A Fillah, Ahad 2 Maret 2014*
ditulis pagi tanggal 4 Maret 2014
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Bismillah..

Entah, akhir-akhir ini saya sering merasa takut kehilangan. Padahal, pada hakikatnya saya hanya manusia, yang tak pernah benar-benar memiliki. Semua hanya titipan, saya sadar akan hal itu.

Mungkin, jika pun bisa memilih, saya ingin dititipi lebih lama. Meski seringnya tak luput dari lupa, lupa untuk menjaga apa yang telah dititipkan. Hingga sadar semuanya begitu berharga, saat segalanya telah hilang, diambil oleh yang Menitipkan. 

"Apa karena saya terlanjur 'jatuh' kepada 'hal' yang tak semestinya?"

Doushite kimi ga naku no mada boku mo naite inai noni
Mengapa kau menangis? Padahal aku masih belum menangis
Jibun yori kanashi mukara tsurai no ga dotchi ka wakaranaku naru yo
Betapa menyedihkannya aku, aku bahkan tak tahu apa yang salah dengan diriku
Garakuta datta hazu no kyou ga futari nara takara mono ni naru
Hari ini akan menjadi harta karun berharga bagi kita berdua

Soba ni itai yo kimi no tameni dekiru koto ga boku ni aru kana
Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk dekat denganmu?
Itsumo kimi ni zutto kimi ni waratte ite hoshikute
Kau dan aku selalu tertawa, itulah yang selalu ingin kulihat
Himawari no youna massuguna sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kau yang lembut seperti bunga matahari dengan semua kehangatannya
Kore kara wa boku mo todokete yukitai koko ni aru shiawase ni kidzuita kara
Aku ingin memberitahu masa depan, Karena disini aku sudah bahagia

Touku de tomoru mirai moshi mo bokura ga hanarete mo
Kita bahkan sering pergi menyapa masa depan dari kejauhan
Sore zore aruite yuku sono saki de mata deaeru to shinjite
Aku percaya masa depanmu akan lebih baik jika seperti ini
Chiguhagu datta hazu no hohaba hitotsu no youni ima kasanaru
Aku selalu mengharapkanmu sebagai salah satu langkah yang ku tempuh

Soba ni iru koto nanigenai kono shunkan mo wasure wa shinai yo
Jangan pernah lupakan saat-saat kau berada disini, disampingku
Tabidachi no hi te wo furutoki egao de irareru youni
Kau tetap tersenyum saat berjabat tangan sebelum kita berpisah
Himawari no youna massuguna sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kau yang lembut seperti bunga matahari dengan semua kehangatannya
Kaeshitai keredo kimi no koto dakara mou juubun da yo tte kitto yuu kana
Bila kau ingin kembali, dapatkah kau mengatakannya dengan cukup yakin?

Soba ni itai yo kimi no tameni dekiru koto ga boku ni aru kana
Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk dekat denganmu?
Itsumo kimi ni zutto kimi ni waratte ite hoshikute
Kau dan aku selalu tertawa, itulah yang selalu ingin kulihat
Himawari no youna massuguna sono yasashisa wo nukumori wo zenbu
Kau yang lembut seperti bunga matahari dengan semua kehangatannya
Kore kara wa boku mo todokete yukitai hontou no shiawase no imi wo mitsuke takara
Mulai sekarang, aku akan memberitahu masa depan, Karena aku sudah menemukan arti kebahagiaan yang sesungguhnya



(Himawari No Yakusoku, OST Stand by Me - Doraemon)
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Di Karawang emang ada pantai? Pertanyaan itu terlontar dari beberapa teman ketika saya cerita tentang tempat-tempat wisata apa saja yang bisa dikunjungi di kota Pangkal Perjuangan ini. Walaupun, saya yang seumur-umur tinggal di Karawang, baru kesampean berkunjung ke salah satu pantainya pada bulan April tahun ini. Hahaha... maklum, sebelumnya tempat jalan-jalan saya hanya sekitaran mall dan tempat shoping lainnya XD

Nah, kalau sekarang masih ada yang nanya emang di Karawang ada pantai? Maka saya akan nyuruh orang yang nanya itu buat buka peta (galak amatan :P). Setelah buka peta, baru sadar kan kalau Karawang adalah salah satu daerah di Jawa Barat yang berada di Pantai Utara, yang akrab kita sebut dengan julukan Pantura. Bagian utara Kabupaten Karawang berbatasan langsung dengan Laut Jawa, yang jika kamu berenang sekitar empat puluh derajat dari bibir pantai ke arah laut sejauh 50.000.000 km, maka kamu akan sampai di salah satu pantai di pulau Kalimantan XD (iya sih kalau kuat aja gitu berenangnya -.-).

Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang salah satu pantai di Karawang, yang beberapa tahun terakhir sudah mulai dikelola sebagai tempat wisata. Nama pantainya yaitu Samudera Baru. Samudera Baru ya, bukan Samudera Biru. Awas salah sebut. Rugi aja gitu kalau kata ‘Baru’ keceletot jadi ‘Biru’, karena kenyataannya pantai ini, air lautnya dari kejauhanpun gak ada warna biri-birunya, hehe.. tapi berwarna kecoklatan gitu. Hal tersebut dikarenakan karakter pasir pantai-pantai di daerah Pantura yang berwarna cokelat, bukan pasir putih seperti kebanyakan pasir pantai di daerah-daerah lainnya. Namun menurut saya, itulah khasnya Pantai Utara.

Pantai Samudera Baru berada di daerah Sungai Buntu, Kecamatan Pedes. Dengan menggunakan sepeda motor, saya dan dua orang teman menyusuri jalan utama Karawang Kota – Rengas Dengklok – Pedes. Sepanjang perjalanan menuju pantai, pemandangan didominasi dengan sawah-sawah yang membentang luas sejauh mata memandang, yang dalam bahasa setempat jalan seperti itu disebut dengan istilah totoang.

Sebagai jalur menuju tempat wisata, jalan menuju ke Pantai Samudera Baru bisa dibilang masih kurang layak, mengingat masih banyak lubang-lubang jalan yang membuat pengendara harus lebih hati-hati dan melambatkan kemudi kendaraan.

Setelah menempuh waktu kurang lebih satu jam perjalanan karawang Kota – Pedes, saya dan kedua teman akhirnya sampai di Pantai Samudera Baru. Untuk masuk ke dalam pantai, kami dikenakan tarif 15 ribu rupiah perorang. Itu sudah termasuk parkir gratis dan bebas mau parkir di mana saja, mau di pinggir, di bibir pantai, atau mau diparkir di lautnya juga mungkin diperbolehkan asal mau aja XD
Disambut oleh gurita besar

Kami memutuskan parkir di depan salah satu rumah makan di pinggir pantai. Tak lama seorang ibu penjaga warung menawarkan menu makanan dari warungnya. Dengan sopan kami menolak, karena kami memang berniat untuk main-main di pantai terlebih dahulu. Tak disangka, kami diusir oleh ibu tersebut. Buahahahahaha... asli saya nyengir aja pas si ibu itu bilang, kalau gak makan jangan parkir di sini! Padahal, tempat kami parkir tidak masuk ke wilayah rumah makan ibu tersebut loh. Tapi yasudahlah. Akhirnya kami memindahkan motor ke tempat yang lebih aman dan jauh dari warung-warung. Takut diusir lagi :P

Di situ saya kecewa, tempat wisata kok tidak difasilitasi dengan parkir khusus pengunjung. Selain membuat pengunjung kebingungan, juga membuat pantai terlihat berantakan karena banyak yang parkir sembarangan.

Setelah puas main air, kami membersihkan diri dan ganti baju di toilet yang disediakan oleh warung-warung makan sederhana yag ada di pinggir pantai. Akhirnya kami memesan makanan, menunya ikan etong bakar lengkap dengan nasi dan sambal – lalapannya. Harganya cukup terjangkau, satu porsi ikan etong ukuran sedang dan nasi satu bakul kecil yang cukup untuk tiga orang yang sedang kelaparan setelah main air, hanya ditarif 60 ribu saja.

Walaupun hari Minggu, namun pengunjung tidak terlalu ramai. Menurut penuturan ibu penjaga warung, pantai Samudera Baru ramai jika hari-hari tertentu saja, misalnya liburan sekolah atau hari besar keagamaan.

Untuk kebersihan, ini juga yang saya keluhkan. Sepanjang pantai masih terlihat sisa-sisa bungkus makanan yang dibuang sembarangan. Hal tersebut membuat pantai terkesan jorok dan kumuh. Menjadi cermin bagi kita semua, seberapa banyak dan besar tentang rasa kesadaran kita akan kebersihan. Memang ini menjadi dilema dan PR bersama.

Namun, Pantai Samudera Baru tetap menjadi pilihan wisata murah meriah di Kabupaten Karawang.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Pagi itu, kamu terlihat  begitu menarik perhatianku. Mulai dari pasmina batik, kaca mata, cardigan, rok batik, sepatu yang kaukenakan, dan tentu senyum lesung pipimu.
"Hei, itu ada teteh-teteh sendirian di sana. Ajakin gabung sama kita!" Kataku dengan penekanan suara penuh arti. Saat itu, ketika melihat sorot matamu yang penuh antusias dan semangat, aku memendam rasa iri pada kawan-kawan yang selalu mengawalmu semenjak awal keberangkatan hingga kepulangan. Dan ketika kamu benar-benar pulang..
kamu dan para 'pengawal'
Hijau Rumput, terbilang waktu yang singkat untuk megenalmu. Aku hitung, dua kali saja kita bertegur sapa. Pertama ketika kamu berbalik dan bertanya bagaimana caranya melompat dari batu besar ke air, aku saja tidak berani melakukannya, Teh. Jawabku singkat. Kedua saat foto bersama di depan air terjun. Kalau posisi Teteh seperti itu, muka aku gak keliatan XD ujarku, kemudian kamu membetulkan posisi.

"Kang Hijau Rumput yang mana?" Pertanyaan penasaran dariku terjawab sudah, meski aku merasa 'tertipu'. Kamu terlalu cantik untuk dipanggil "kang"..

Dan ternyata, pertemuan pertama Ahad itu, menjadi pertemuan yang terakhir juga. Padahal belum purna aku membalas status terakhir BBM-mu..
Love you too...

Status terakhir Hijau Rumput: foto saya dan dua orang teman

Selamat jalan, Hijau Rumput aka Berbi aka Sri Susanti..
Innalillahi wa inna ilaihi rodjiun...
Allahumma firlaha warhamha waafihi wa'fuanha


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Bermalam di Puncak Dua Guntur yang Hangat

Puncak dua gunung Guntur menjelang malam, seusai shalat isya, saya memilih masuk ke dalam tenda. Sebetulnya perut sudah terasa lapar, karena sesampainya di puncak saya hanya makan mie cup, itupun berbagi dengan dua orang teman.  Saya merebahkan badan dan ngemil beberapa makanan ringan dan buah kiwi. Tim kami belum ada yang berinisiatif untuk masak, mungkin sama seperti saya, kelelahan setelah kurang lebih delapan jam mendaki gunung Guntur.

Ada yang istimewa di puncak dua ini, saya tidak tahu apakah di puncak Guntur yang lain juga kondisinya sama. Guntur yang merupakan gunung api aktif, dari dalam perutnya masih mengeluarkan kawah hangat. Ketika merebahkan badan di dalam tenda, rasa hangat menjalar ke tubuh saya. Karena hal tersebutlah ketika ngecamp di puncak gunung kali ini saya tidak membenamkan diri ke dalam sleepingbag. Saya menggunakan sleepingbag sebagai bantal. Beberapa menit sekali saya harus membolak-balikkan badan, mengubah posisi tidur. Karena kalau kelamaan dengan posisi yang sama badan kerasa panas juga, takut gosong, udah kayak kambing guling gitu XD Hangat tanah Guntur, seakan menjadi terapi bagi tubuh yang kelelahan setelah mendaki siangnya.

Suara-suara


Beneran deh, di Guntur tidur saya nyenyak pake banget. Bahkan di rumah sendiri pun saya jarang merasakan tidur senyenyak dan senyaman itu. Hm... alam memang subhanallah, hampir selalu mampu memberikan ketenangan dan rasa nyaman. Saya bangun sekitar pukul empat dini hari, itupun karena mendengar rintihan orang yang sakit dari tenda sebelah. Kemudian rasa tidak tenang menjalar ketika mendengar suara air mengalir dari dekat tenda kami, entah itu ada yang sedang menuangkan air atau malah yang bikin saya khawatir adalah jangan-jangan ada yang pipis di samping tenda kami. Asli, saya khawatir airnya merembes ke dalam tenda. Saya duduk sambil menepis pikiran tadi, kemudian memastikan tenda kami tidak basah.

Saya memutuskan untuk rebahan lagi sambil menunggu waktu subuh. Sambil mendengarkan percakapan dari tenda sebelah. Seseorang itu memanggil temannya berkali-kali.

“Kunaon, Ril? Lieur apa kumaha?”

“Teu nyaho, yeuh. Teu ngareunah weh,”

“Geus minum tolak angin can?”

“Encan,”

“Arek tolak angin?”

“Aya kitu?”

“Aya, ke ku urang cokot heula,”

Tak lama terdengar langkah kaki. Ternyata tenda tim tetangga sebelah letaknya berpencar. Satu tenda berada tepat di belakang tenda saya, tenda satunya lagi berada di samping tenda teman satu team saya yang letaknya di depan tenda saya. Hehe... bisa dimengerti gak sih penjelasan saya? Asa belibet gini. hoho :D Nah, teman orang yang sakit itu berniat mengambilkan obat di tenda yang satunya.

Lama tak mendengar langkah kaki yang kembali ke tenda tetangga yang sakit itu, tiba-tiba terdengar kembali suara yang sakit tersebut memanggil temannya. Minta dipijitin, katanya, masih dengan bahasa sunda. Saya dan kedua teman setenda memutuskan untuk keluar dan shalat subuh. Seusai shalat, kami saling bercerita, ternyata kedua teman saya juga terbangun oleh rintihan orang sakit di sebelah dan terjaga sampai waktu subuh, hanya saja kami saling diam.

Sunrise yang Kece dan Spagetty yang dinanti


Apa yang paling ditunggu-tunggu ketika ngecamp di gunung pada pagi hari? Hiyaaa... apa lagi kalau bukan sunrise. Matahari terbit selalu memikat hati siapa saja yang menatapnya. Kami sibuk mengabadikan gambar. Tak lupa kamipun berfoto dengan latar gunung Cikuray dan gunung tertingi di Jawa Barat, yaitu Gunung Ciremai yang  gagah berdiri di kejauhan. Diam-diam saya mengulang hamdalah dan takbir, betapa besar dan indah ciptaan-Nya.

Kita dan Gunung Cikuray di belakang :)
Ciremai di kejauhan dan ketinggian Guntur
Setelah puas menikmati matahari pagi, kami mulai melakukan aktifitas lainnya. Saya membereskan tenda kemudian membantu membuat sarapan. Sebetulnya ini yang saya tunggu-tunggu dari semalam, bahkan ketika keluar tenda, hal pertama yang saya tanyakan adalah spagetiii. Hahaha.. spageti menjadi salah satu menu makan team kami. Muka boleh lecek dan capek, wajah cemerong karena debu Gunung Guntur yang gersang, tapi makan ala Italiano. Hohoho... berasa di mana gitu pokoknya :P

Pendaki yang Sakit

Belum usai kami makan, dari tenda tetangga kembali terdengar rintihan orang sakit. Saya dan Teh Angur (satu dari tiga akhwat dalam team kami) saling tatap. Mau disamperin gak teh? Mungkin ada yang bisa kita bantu. Tanya saya pada Teh Angur. Hingga akhirnya kami sepakat untuk bertandang ke tenda tetangga. Menengok kondisi mereka.

Kami melihat satu orang terbaring lemas di dalam tenda. Sementara teman-temannya tengah sibuk memasak air dan sarapan. Kami mengucapkan salam dan meminta ijin masuk tenda untuk melihat kondisi teman mereka yang sakit. Dalam hal ini, teman saya yang satu ini, meskipun bukan tenaga medis namun cukup berpengalaman untuk menangani orang sakit semacam ini. Terlebih jam terbangnya menaklukkan gugung-gunung, membuatnya banyak belajar.

Namanya Darril, mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Bandung. Usianya baru sembilan belas dan ini pendakiannya yang kedua. Begitu jelas teman-temennya pada kami. Saya coba menyuapi Derril dengan air gula hangat sementara Teh Angur mencoba memulihkan kesadaran Derril dengan memijat kaki dan beberapa titik tubuhnya yang lain. Darril hanya mengeluarkan suara seperti bergumam dan lenguhan sakit. Teman-temannya bilang dia hypo. Tapi entahlah, saya masih menganggap kalau hypo itu kondisi dimana sesorang mengalami sakit akibat udara dingin di pegunungan, sementara puncak dua Guntur begitu hangat, seperti yang sudah saya ceritakan di atas.  

Melihat dari kondisinya, Darril harus segera diberikan bantuan medis. Akhirnya salah satu teman di kelompok kami berinisiatif untuk mengubungi ranger. Dari bekal kartu nama yang didapat dari posko pendaftaran kemarin, kami mendapatkan nomor telepon tersebut dan mereka segera menghubungi tim ranger yang standby di puncak satu. Jaraknya sekitar 30 sampai 45 menit ke puncak dua.

Harusnya kami turun gunung pukul delapan, tapi karena berat hati meninggalkan teman pendaki yang sakit, akhirnya tim kami memutuskan turun gunung jika tim ranger sudah datang. Sementara menunggu, kami mulai packing dan melakukan operasi semut, memastikan tak meninggalkan sampah di sana.

Kami turun gunung pukul sepuluh, ketika matahari di Guntur mulai terasa panas. Kami turun dengan perasaan yang campur aduk. Lega karena tim ranger sudah datang untuk memberikan bantuan kepada Darril, namun juga khawatir melihat kondisi Darril yang sangat lemah. Meskipun dia akan ditandu untuk menuruni gunung, tapi bisa dibayangkan bagaimana susah payahnya melewati puluhan kilometer hingga sampai di posko dengan trek Guntur yang kemiringannya cukup ekstream.

Main Ski Pasir


Cara yang paling efektif untuk menuruni gunung Guntur adalah dengan cara meluncur. Saya seperti tengah bermain sky, cuman bukan di air tapi di pasir yang pastinya meninggalkan debu yang teramat pekat di belakang. Hal tersebut yang mengharuskan saya menjaga jarak dengan pendaki di depan. Saya sempat bilang ke temen, kalau caranya seperti ini, saya mau ke Guntur lagi deh. Tapi gak mau nanjaknya, maunya pas turun aja :P hehe...

Hanya saja, menuruni trek pasir dengan cara meluncur juga bukan tanpa resiko. Ketika meluncur dengan menggunakan kaki kiri, sedangkan kaki kanan sebagai rem, memungkinkan resiko jatuh ke belakang yang mengakibatkan pantat mendarat duluan. Ketika kelelahan meluncur menggunakan kaki, kadang saya menggunakan cara lain, yaitu perosotan. Sampai-sampai, ketua team kami celananya bolong karena seringnya melakukan cara perosotan tersebut XD Sedangkan saya, baru sadar ketika sampai di bascamp bahwa coverbag bagian bawah sobek karena tergesek pada posisi perosotan XD akakkkkk...

Pukul empat sore kami sudah sampai di bascamp, mengambil KTP dan beristirahat sejenak untuk kemudian kembali ke rumah masing-masing.

Sampai di Rumah dan Sebuah Pesan
Karena dapat busnya lama pake banget, akhirnya saya sampai di rumah sekitar pukul satu dini hari. Saya langsung bersih-bersih badan, shalat, dan cas hp yang sudah low baterenya semenjak hari kedua di Guntur. Saya terkejut ketika membuka obrolan grup, seorang teman mengirimkan sebuah screenshoot berita bahwa pendaki Gunung Guntur, Darril meninggal dunia ketika menuruni Gunung 

Guntur. Innalillahi wa innailaihi rodjiun.

Sisa pagi itu meski sangat lelah, saya tak bisa sepicingpun memejamkan mata. Teringat dengan wajah yang saya suapi dengan air gula hangat di puncak dua. Sempat timbul penyesalan, mengapa baru tergerak melakukan pertolongan pertama setelah matahari meninggi. Padahal kami mendengar erangan sakitnya sedari pukul empat pagi. Kemudian seorang teman bilang, mari memaafkan diri sendiri. Toh ini sudah dicatatkan di lauful mahfuz.

Pendakian kali ini, Allah menyelipkan pesan kematian pada saya, pada teman satu team, pada kawan-kawan Darril, dan pada pendaki lainnya. Satu pekan setelahnya, beberapa teman satu team melakukan takziah ke makam Darril di Bandung. Saya tidak ikut karena Sabtu harinya kuliah... walaupun tidak mengenal Darril dan kawan-kawannya, namun kejadian ini sungguh membuat hati kami mendung beberapa lama setelahnya.
Teman pendaki melakukan takziah ke makam Darril
Darril dalam kenangan

Tenang di sana ya, Rill. Allah sayang padamu :)
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Judul Buku: Sayap-sayap Sakinah
Penulis: Afifah Afra dan Riawani Elyta
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: Pertama, Juli 2014
Tebal: 248 Halaman
ISBN: 978-602-1614-22-8
Cover Buku Sayap-sayap Sakinah
Jika kita mau merenung sejenak, bahwa segala sesuatu, Allah ciptakan secara teratur, yang semuanya mengarah kepada keseimbangan. Coba lihat posisi tubuh manusia sendiri. Ada sepasang tangan yang masing-masing ada di kanan dan di kiri, juga sepasang kaki, sepasang mata, sepasang telinga. Dan jika jumlah organ itu hanya satu, seperti hidung, mulut, kepala, selalu diposisikan di tengah, dengan pertimbangan yang tepat antara kanan dan kiri. (halaman 40)

Makhluk-makhluk Allah di muka bumi ini pun selalu memiliki dua hal yang saling melengkapi. Pada gunung merapi misalnya, di satu sisi gunung adalah wujud yang kokoh dengan kepundan yang siap menyemburkan magma yang sangat panas. Akan tetapi, gunung pun selalu menampakkan panorama yang indah dengan bentuk-bentuk artistik serta tanaman-tanaman yang menawan. (halaman 41)


Langit adalah laki-laki dan bumi adalah wanita. Bumi memupuk apa yang dijatuhkan oleh langit. Apabila bumi kekurangan panas maka langit mengirimkannya. Apabila ia kekurangan kesegaran dan embun, maka langit memperbaharuinya. Tanpa bumi, bagaimana bunga dan pohon bisa mulai berkembang? Kalau begitu, apa yang dihasilkan oleh air dan kehangatan langit? Sebagaimana Allah memberikan keinginan kepada laki-laki dan wanita sampai akhir. Sehingga dunia akan terpelihara oleh kesatuan mereka. (Jalaludin Rumi)


Seperti yang diutarakan oleh jalaludin Rumi. Keseimbangan pun Dia tunjukkan pada sepasang laki-laki dan wanita, keduanya  merupakan satu kesatuan yang penciptaannya saling melengkapi. Saling mengisi. Saling memberi dan menerima. Laksana langit dan bumi yang digambarkannya dalam puisi di atas. Hingga satu kesatuan itu, kemudian kita sebut dengan nama: pernikahan.

Apa yang kita pikirkan jika mendengar kata: pernikahan? Bersatunya dua insan dalam bahtera yang suci? Atau mungkin ada yang mendefinisikan sebagai titik di mana berakhirnya sebuah penantian atau pencarian yang disebut sebagai jodoh kita? Tapi, benarkah bahwa sepasang manusia yang menikah itu sudah pasti berjodoh? Nah loh.

Dalam buku Sayap-sayap Sakinah dituliskan bahwa, bahkan, jodoh dan cinta pun belum tentu berjodoh. Seperti dinukil dari buku Sinta Yudisia “Kitab Cinta dan Patah Hati”, Zainab el-Nafzawiya menikah dengan Abu Bakar bin Umar. Zainab rela dipersunting oleh Abu Bakar, karena lelaki itu menyanggupi syarat berat yang ditetapkan Zainab untuk siapa yang mau menjadi suaminya, yakni harus menyatukan wilayah Maghribi, yang terbentang dari Afrika Utara hingga Andalusia.

Janji itulah yang kemudian memisahkan mereka. Untuk memenuhi janji, Abu Bakar harus melakukan ekspedisi ke Gurun Sahara yang sangat berat. Saking cintanya terhadap istri, Abu Bakar tak ingin menyeret sang istri ke sebuah medan yang sangat ganas, dan ia pun tak mau meninggalkan Zainab dalam perpisahan yang bertahun-tahun yang membuat Zainab terbelenggu dalam kesepian dan ketidakpastian. Akhirnya, ia memutuskan untuk menceraikan sang istri. Namun ia berjanji, seusai menaklukkan Sahara, maka ia akan kembali kepada Zainab.

Zainab yang merasa sedih dengan perceraiannya, akhirnya menikah dengan Yusuf bin Tashfin, yang tak lain adalah sepupu Abu Bakar. Sementara itu, Abu Bakar, melalui sebuah ekspedisi yang panjang, berat, dan melelahkan, akhirnya berhasil menaklukkan Sahara. Namun, saat kembali kepada Zainab, dia melihat betapa Zainab dan Yusuf saling mencintai dan menghargai. Rasa cinta masih ada di dada Abu Bakar, namun ia tak ingin menyakiti Yusuf. Dia memilih kembali ke padang pasir dan menghabiskan waktunya di sana. Abu Bakar meninggal dunia dalam kelegaan. Sebab, meskipun dia tak bisa kembali menjadi suami Zainab, dia menyaksikan perempuan itu berada si samping lelaki yang tepat.

Terkait dengan wanita yang menikah lebih dari satu kali, Ummu Salamah pernah bertanya: “Ya Rasulullah, ada di antara kami yang menikah dua sampai tiga kali. Jika dia meninggal dunia dan suami-suaminya masuk surga, siapakah yang menjadi suaminya di surga?” Rasul menjawab, “Wahai Ummu Salamah, dia diberi kebebasan memilih mana di antara suaminya yang paling baik akhlaknya.”

Lalu, siapakah yang akan dipilih Zainab jika kelak masuk surga? Bersama Yusuf atau Abu Bakar?
Entahlah....

Jodoh itu misteri. (halaman 33-34)

Jika tadi berbicara bahwa jodoh merupakan misteri, di bab yang lain dalam buku Sayap-sayap Sakinah dituliskan bahwa sakinah merupakan hadiah dari Allah. Dalam surat Ar-Rum ayat 21, sakinah berarti rasa nyaman atau merasa tentram. Tentu menjadi salah satu harapan terbesar bagi orang yang menikah ialah menjadikan hidupnya tentram bersama dengan pasangannya tersebut. 

Rasa tenang tersebut digambarkan dalam firman-Nya: “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 187). Muhammad Nabiel Kadzim menjelaskan, bahwa maksud dari ayat tersebut adalah bahwa dengan menikah, sepasang suami istri harus bisa saling menutupi, menjaga, merawat, memberi kehangatan, menjadi perhiasan, saling mengganti, menyempurnakan, tolong-menolong dalam menanggung beban hidup, bersama-sama dalam merasakan kenikmatan, dan sebagainya. 

Jika sakinah merupakan hadiah dari Allah, maka tugas kita sebagai manusia adalah berusaha dan senantiasa berdoa agar Allah memberikan sakinah pada pernikahan kita. 

Dalam buku Sayap-sayap Sakinah, yang merupan hasil duet dari Afifah Afra dan Riawani Elyta, membahas segala seluk beluk pernikahan, mulai dari merencanakan jodoh, persiapan menikah, menghadapi hal-hal baru dalam kehidupan setelah menikah, dan serba-serbi pernikahan yang lainnya. Dikemas dengan bahasa yang ringan dengan diselingi catatan-catatan pengalaman penulis sendiri tentang kisah menuju pernikahannya, yang membuat buku ini jauh dari kesan menggurui. 

Quotes-quotes tentang cinta dan pernikahan yang disajikan, membuat buku ini tidak terasa membosankan. Ditambah, buku ini ditutup dengan puisi-puisi Afifah Afra yang kuat akan diksi-diksi yang merupakan ciri khas penulis.

Namun, saya merasakan bahwa buku ini dibuka dengan puisi yang bisa dibilang terkesan feminis. Menyajikan pembukaan dengan sebuah ‘permintaan’ atau mungkin ‘harapan’ dari seorang wanita kepada suami atau calon suaminya, meski hal ini memang manusiawi. Bait puisnya sebagai berikut: Suamiku, aku mengizinkanmu menikah hingga empat kali. Pertama menikahiku. Lalu menikahiku. Lalu menikahiku. Dan terakhir menikahiku.

Akan tetapi, di luar konteks itu. Buku ini cukup ringan untuk dijadikan bekal untuk yang akan, segera, atau sudah menikah.

*diikutsertakan dalam lomba menulis resensi buku Sayap-sayap Sakinah
Share
Tweet
Pin
Share
6 komentar
Newer Posts
Older Posts

Kontak Penulis

Facebook: Lina Astuti
Instagram: @linaastuti_
Twitter: @naku_ast27
Email: linaastuti27@gmail.com

Member dari

Member dari


Teman-teman

Postingan Terakhir

Postingan Populer

  • Perawatan Wajah di Farina Beauty Clinic
    Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu saya pergi ke klinik kecantikan. Niat awalnya hanya untuk facial, karena merasa komedo sudah terlalu...
  • Tips Menjemur Pakaian Dalam
    Bagi semua orang celana dalam (CD) dan bra (khusus bagi wanita) merupakan barang paling pribadi. Ada yang bilang bahwa dua benda tersebut m...
  • Dalam Sakit, Larik Puisi Sapardi Djoko Damono
    Bagi pecinta puisi, siapa yang tak kenal dengan Sapardi Djoko Damono (SSD)? Sastrawan yang terkenal dengan puisi-puisinya yang beraliran pu...
  • Sambal Tempe Ayam Suwir SO GOOD, Variasi Menu Piring Gizi Seimbang
    Para emak pasti setuju kalau aktifitas masak-memasak itu menguras empat hal ini: waktu, tenaga, materi, dan pikiran. Saya pribadi sebagai ...
  • Cara Mudah Mengingat Urutan Satuan Jarak
    Tidak sedikit anak-anak yang kurang menyukai pelajaran Matematika. Pelajaran tersebut dianggap sulit karena berhubungan dengan hitung-mengh...
  • Solusi Pegal-pegal untuk Pekerja Kantoran
    Gambar: karimuslim.com Seorang pekerja kantoran biasanya dapat menghabiskan waktu dalam kurun waktu yang sangat panjang dalam sehari d...
  • Genset: Alat Penting untuk Kebutuhan yang Genting
    Zaman sekarang ini siapa sih yang tidak membutuhkan tenaga listrik? Apalagi hidup di kota besar seperti Jakarta. Mulai dari kebutuhan prib...
  • Cerita Dalam Filosofi Hujan
    Oleh: Lina Astuti Judul Buku: Jika Hujan Pernah Bertanya Penulis: Robin BIE Wijaya Cetakan: I, Agustus 2011 Penerbit: Leutik...
  • Resensi Novel Rengganis Altitude 3088
    Rengganis, Novel  Tentang Pendakian Judul Buku: Rengganis Altitude 3088 Penulis: Azzura Dayana Penerbit: Indiva Media Kreasi Tahun Ter...
  • Pengalaman Mengatasi Biang Keringat pada Bayi
    Dulu sebelum punya anak, saya menganggap biang keringat merupakan sakit remeh-temeh dan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Terleb...

Arsip Blog

  • ►  2020 (10)
    • ►  Desember 2020 (1)
    • ►  September 2020 (1)
    • ►  Juli 2020 (2)
    • ►  Juni 2020 (2)
    • ►  Februari 2020 (1)
    • ►  Januari 2020 (3)
  • ►  2019 (27)
    • ►  Desember 2019 (1)
    • ►  November 2019 (3)
    • ►  Oktober 2019 (4)
    • ►  September 2019 (1)
    • ►  Agustus 2019 (4)
    • ►  Juli 2019 (4)
    • ►  Juni 2019 (3)
    • ►  Mei 2019 (2)
    • ►  Februari 2019 (3)
    • ►  Januari 2019 (2)
  • ►  2018 (29)
    • ►  Desember 2018 (1)
    • ►  November 2018 (1)
    • ►  Oktober 2018 (2)
    • ►  September 2018 (1)
    • ►  Agustus 2018 (3)
    • ►  Juli 2018 (3)
    • ►  Juni 2018 (1)
    • ►  Mei 2018 (2)
    • ►  April 2018 (4)
    • ►  Maret 2018 (4)
    • ►  Februari 2018 (4)
    • ►  Januari 2018 (3)
  • ►  2017 (31)
    • ►  Desember 2017 (3)
    • ►  November 2017 (2)
    • ►  Oktober 2017 (2)
    • ►  September 2017 (3)
    • ►  Agustus 2017 (2)
    • ►  Juli 2017 (3)
    • ►  Juni 2017 (1)
    • ►  April 2017 (4)
    • ►  Maret 2017 (5)
    • ►  Februari 2017 (1)
    • ►  Januari 2017 (5)
  • ►  2016 (22)
    • ►  Desember 2016 (1)
    • ►  November 2016 (3)
    • ►  Oktober 2016 (2)
    • ►  September 2016 (2)
    • ►  Agustus 2016 (1)
    • ►  Juni 2016 (3)
    • ►  April 2016 (2)
    • ►  Maret 2016 (2)
    • ►  Februari 2016 (4)
    • ►  Januari 2016 (2)
  • ▼  2015 (52)
    • ►  November 2015 (1)
    • ▼  Oktober 2015 (6)
      • Tentang Sebuah Pinta
      • Memiliki dan Kehilangan
      • Main Air di Pantai Samudera Baru
      • Hijau Rumput
      • Kehangatan Puncak Dua Guntur, Tragedi di Puncak, d...
      • Resensi Sayap-sayap Sakinah
    • ►  September 2015 (11)
    • ►  Agustus 2015 (11)
    • ►  Juli 2015 (5)
    • ►  Juni 2015 (5)
    • ►  Mei 2015 (1)
    • ►  April 2015 (6)
    • ►  Maret 2015 (4)
    • ►  Februari 2015 (2)
  • ►  2014 (3)
    • ►  Desember 2014 (2)
    • ►  Januari 2014 (1)
  • ►  2013 (6)
    • ►  Desember 2013 (5)
    • ►  Maret 2013 (1)
  • ►  2012 (15)
    • ►  Oktober 2012 (1)
    • ►  Mei 2012 (1)
    • ►  Maret 2012 (2)
    • ►  Februari 2012 (2)
    • ►  Januari 2012 (9)
  • ►  2011 (6)
    • ►  Desember 2011 (2)
    • ►  November 2011 (4)
Created with by ThemeXpose